Bulu Babi
Indonesia adalah salah satu negara tropis dan kaya akan terumbu karang. Berkaitan dengan itu, semua pantai di Bumi Nusantara ini kaya akan bulu babi, si predator utama terumbu karang. Sayang, masyarakat nelayan, khususnya, cuma menganggapnya sebagai hama. Padahal, di balik itu, tersimpan potensi ekonomi yang sangat besar. Dan, Graha Potensi Bahari sudah membuktikannya dengan segala keterbatasan mereka
e-preneur.co. Bulu babi diperjualbelikan? Pertanyaan bernada heran ini, wajar dilontarkan oleh banyak pihak mulai dari orang awam, masyarakat nelayan, hingga mereka yang bekerja di dinas kelautan.
Dikatakan begitu, sebab, masyarakat memperlakukan bulu babi sebagai musuh lautan. Alasannya, pertama, bulu babi merupakan predator bagi terumbu karang.
Kedua, bulu babi, terutama yang hitam, mengganggu aktivitas manusia baik nelayan maupun turis. Berkaitan dengan itu, banyak bulu babi yang dibuang begitu saja.
Hingga, suatu ketika, sebuah acara di sebuah stasiun TV menayangkan tentang bulu babi di Sulawesi. Tayangan itu, menginformasikan bahwa bulu babi dapat dimakan.
“Hal itu, membuat saya penasaran untuk mencari informasi lebih lanjut. Ternyata, bulu babi mempunyai potensi ekonomi yang sangat besar. Di samping itu, dari hasil investigasi, kami mendapati bahwa di Indonesia ada sekitar 40 jenis bulu babi. Mengingat, Indonesia adalah negara tropis dan kaya akan terumbu karang,” ungkap Yuri Pratama Widiyana.
Selanjutnya, Yuri dan kawan-kawan melakukan riset kecil-kecilan. Karena, bermaksud membudidayakannya. Selain itu, mereka juga ingin menjadikan bulu babi sebagai mata pencaharian sampingan para nelayan.
Dari hasil riset itu, diketahui bahwa ternyata yang dapat dibudidayakan hanya tiga jenis yaitu pertama, diadema setosum atau bulu babi hitam dengan ciri mempunyai duri panjang dan beracun. Penyebarannya di seluruh pantai di negara-negara beriklim tropis.
Kedua, tripneustes gratilla atau bulu babi manggisan, dengan ciri mempunyai duri pendek dan tidak beracun, serta warna ungu, merah, cokelat, dan belang-belang. Penyebaran di Indonesia Bagian Timur. Sebagian masyarakat pesisir sudah mengonsumsinya dan ternyata paling marketable.
Ketiga, echinometra mathei. Bulu babi ini mirip dengan bulu babi hitam, tapi bulunya lebih tebal. Penyebarannya di Indonesia Bagian Barat.
“Dalam perkembangannya, bulu babi hitam yang kami budidayakan. Karena, bulu babi hitam paling banyak jumlahnya, paling gampang didapat, dan paling tidak dibutuhkan. Hal ini, justru menjadi tantangan bagi kami,” lanjutnya.
Namun, dengan pemikiran bahwa tidak mungkin mampu menjalankannya sendiri, Yuri dan kawan-kawan bekerja sama dengan jaringan mereka yang ada di Kepulauan Seribu. Pada Februari 2010, mereka memulai budidaya bulu babi di Pulau Tidung, Kepulauan Seribu, dengan hanya dibantu tiga nelayan.
“Untuk lahannya, kami bekerja sama dengan Kelompok Nelayan DPL (Daerah Perlindungan Laut) yang memiliki areal budidaya, tapi bukan untuk budidaya bulu babi. Karena itu, kami hanya mendapat lahan seukuran keramba pertama kami yaitu 2 m x 3 m, yang mampu menampung 1.000 ekor bulu babi,” jelas sarjana administrasi niaga dari Universitas Indonesia ini.
Untuk itu, modal yang mereka keluarkan tidak lebih dari Rp2 juta dan itu hanya untuk pembuatan keramba. Sementara bibit bulu babi, mengambil dari alam.
“Tapi, kami tidak asal ambil. Kami mengambil yang ukuran cangkangnya lebih dari 5 cm. Hal itu, kami lakukan untuk menghindarkan bulu babi dari stres,” katanya. Untuk pembibitan ini, mereka melakukannya di Pulau Tikus, sementara untuk pembesaran dilakukan di Pulau Tidung dan Pulau Page.
Namun, dari learning by doing selama lebih dari setahun, secara finansial, Yuri dan kawan-kawan merugi Rp50 juta. Sementara dari sisi bulu babinya, banyak yang mati lantaran stress. Atau, kabur. Karena, ternyata, mereka mempunyai kemampuan memanjat.
“Bulu babi yang kami panen berumur lebih dari 1 tahun 3 bulan. Hal itu, bisa diketahui dari diameter cangkang yang berukuran di atas 7 cm. Selain itu, pada umur itu, biasanya sudah memijah (bertelur) setidaknya sekali,” jelas kelahiran Jakarta, 15 Juli 1984 ini.
Yuri dan kawan-kawan tidak menyarankan memanen bulu babi yang belum memijah. “Karena, tidak bagus bagi sustainability-nya. Mengingat, yang bersangkutan belum meninggalkan keturunan. Di samping itu, kondisi itu tidak bagus bagi kualitas gonadnya. Sebab, belum di-‘test drive’,” lanjutnya.
Sekadar informasi, sebuah sumber menyatakan bahwa gonad merupakan alat reproduksi pada bulu babi di mana baik pada jantan maupun betina itu sama. Gonad ini bisa kita jumpai dalam makanan Jepang yaitu sushi.
Jika gonad diambil berarti bulu babi itu harus dimatikan. Dan, itu yang menjadi salah satu alasan lagi mengapa Yuri dan kawan-kawan membudidayakan bulu babi.
Gonad bulu babi memiliki kandungan protein, zinc, kalsium, dan sebagainya yang sangat tinggi. Gonad ini juga diketahui mempunyai potensi sebagai obat untuk meningkatkan vitalitas dan perkembangan hormonal, baik untuk pria maupun wanita
“Banyak yang bertanya mengapa harus budidaya, ‘kan tinggal ngambil? Mereka tidak sadar kalau lama-kelamaan jumlah mereka akan habis kalau terus-menerus diambil, tanpa dibudidayakan. Seperti, yang terjadi pada tripang,” tambahnya.
Dengan pertimbangan tersebut di atas, Yuri dan kawan-kawan menjual gonad bulu babi ke berbagai rumah makan Jepang yang menyediakan sushi. Atau, ke supermarket yang menjual bahan baku sushi.
“Kami membuat sampling, tapi ditolak. Ternyata, untuk memasok gonad bulu babi ada banyak kriteria yang harus dipenuhi yang menyangkut kualitas, seperti grading, packaging, quality tester, hingga jenis bulu babinya,” ujar Yuri, yang usahanya akhirnya settle atau berani membuat SOP (Standard Operational Procedure) pada awal tahun 2012.
Selanjutnya, mereka memutuskan tidak ngotot untuk ekspor dan memilih untuk fokus di pasar lokal, sambil memperbaiki kualitas produk. Bahkan, mereka sempat berhenti untuk mengubah strategi. Di antaranya, jika semula menerapkan sistem gaji, berikutnya membentuk komunitas/plasma.
Selain itu, juga mengubah sistem pemasaran dari fresh menjadi dried atau dikeringkan. Sementara sistem pengeringannya, dilakukan dengan menggunakan teknologi ala nelayan atau dikeringkan di bawah sinar matahari langsung.
Pengeringan dilakukan, setelah Yuri merasa penasaran dengan banyaknya toko yang menjual “Pil Biru”. Lantas, ia melakukan observasi. Hasilnya, ternyata, para penjual “Pil Biru” tersebut mampu mempertahankan usaha mereka hingga bertahun-tahun. Padahal, produk mereka tidak asli dan bersifat kimiawi.
Di sisi lain, berdasarkan informasi, diketahui bahwa gonad bulu babi memiliki kandungan protein, zinc, kalsium, dan sebagainya yang sangat tinggi. Bahkan, di dunia internasional, gonad diketahui mempunyai potensi sebagai obat. Tepatnya, untuk meningkatkan vitalitas dan perkembangan hormonal baik untuk pria maupun wanita.
Dari situ, Yuri dan kawan-kawan pun mencoba masuk ke segmen farmasi. Ternyata, diterima. Tapi, pihak buyer meminta dalam bentuk yang sudah dikeringkan.
“Selain dalam bentuk dikeringkan, kami juga membuat dalam bentuk ekstraksi yang kami luncurkan dengan merek Seagra. Nantinya, kami juga akan membuatnya dalam bentuk kapsul,” ungkapnya.
Untuk yang dalam bentuk dikeringkan, Yuri melanjutkan, nantinya mengarah ke semacam obat-obatan Cina. Untuk saat ini, Yuri dan kawan-kawan melempar gonad yang sudah dikeringkan ini ke Semarang yang notabene pusat jamu, dengan harga minimal Rp150 ribu/kg.
Dan, untuk yang dalam bentuk ekstraksi mengarah ke farmasi moderen. Mereka melemparnya ke Medan, Surabaya, Semarang, dan Bandung dengan harga jual minimal Rp250 ribu/kg.
Sementara dari sisi kapasitas produksi, Yuri dan kawan-kawan mampu memproduksi yang dalam bentuk dikeringkan sebanyak 200 kg–250 kg. Sedangkan yang dalam bentuk ekstraksi/serbuk kurang dari 100 kg.
“Perlu kami tekankan bahwa untuk kedua varian produk tersebut di atas, posisi kami hanya sebagai penyedia raw material. Sementara pasar-pasar yang kami sebutkan sebagai buyer,” jelasnya.
Tapi, ia melanjutkan, untuk kapsul yang merupakan perkembangan dari ekstraksi, Yuri dan kawan-kawan membuat jalur pemasaran sendiri dalam bentuk direct selling. Untuk produksinya, juga membuat sendiri dengan menggandeng buyer yang ada di Bandung.
“Berkaitan dengan itu, kami membentuk perusahaan joint venture. Namun, lebih dari itu semua, produk yang kami launch Februari 2014 itu 100% terbuat dari gonad bulu babi,” ungkapnya.
Berkaitan dengan kondisi di atas, Yuri dan kawan-kawan pun membentuk perusahaan dengan nama Graha Potensi Bahari yang bertugas sebagai penyalur, pemasar, dan pengolah gonad bulu babi. Selain itu, juga membentuk Urchi Indonesia yang merupakan komunitas para nelayan penyedia produk mentahnya.
Yuri dan kawan-kawan juga melempar 90% produknya ke pasar farmasi dan sisanya tetap ke pasar makanan. Yuri menargetkan, 5 tahun–10 tahun mendatang sebagai komunitas, sudah tersebar ke seluruh Indonesia. Di samping itu, ingin membentuk excellent center sebagai tempat belajar bareng.
Prospeknya? “Di pantai mana pun di Indonesia, khususnya, Anda akan menjumpai bulu babi. Bahkan, dalam jarak 5 m–10 m dari garis pantai, Anda sudah bisa menjumpainya. Artinya, potensinya sangat besar, meski belum ada yang mengetahuinya. Sementara yang sudah mengetahui, belum bisa mengolahnya dengan baik. Karena, banyak keterbatasan. Seperti kami, yang masih terbatasi dalam menjangkau semua pantai di Indonesia. Sampai saat ini, jaringan kami masih di seputar Pulau Jawa, seperti Pulau Seribu dan Banyuwangi, di samping Madura dan Karimun Jawa,” pungkasnya.