Mangut Lele Mbah Marto
Ingat Yogyakarta, ingat gudeg. Padahal, di kota ini juga ada Mangut Lele baik dari lele goreng maupun lele asap. Salah satunya, Mangut Lele Mbah Marto yang legendaris. Sehingga, meski lokasinya mblusuk, tapi pengunjungnya terus datang berbondong-bondong
Proses pengasapan yang amat lama, menghasilkan daging lele yang empuk dan duri-durinya yang lunak. Selain itu, aroma lele asap yang menerbitkan air liur
e-preneur.co. Yogyakarta, selain terkenal sebagai Kota Batik, Kota Pendidikan, dan Kota Budaya, juga kota dengan berbagai kuliner unik. Hal ini, setidaknya sudah dibuktikan oleh Catur W. Nugroho dari e-preneur.co dalam perjalanannya menuju Wonosobo.
“Saat itu, sebelum melanjutkan perjalanan ke Wonosobo, kami menyempatkan berkunjung ke Yogyakarta. Setelah bermalam, siang harinya, kami menuju ke sebuah tempat makan yang konon sangat legendaris yakni Mangut Lele Mbah Marto,” kata pria yang akrab disapa Catur itu.
Berdasarkan informasi yang ia peroleh, Mbah Marto adalah pedagang nasi dengan lauk gudeg, opor ayam, dan sambel goreng krecek tapi menu andalannya Mangut Lele. Dengan menggendong tenggok (Jawa: bakul, red.), ia berjualan secara berkeliling dari satu kampung ke kampung yang lain. Selanjutnya, mangkal di Pasar Beringharjo.
Seiring dengan berjalannya waktu, usia yang semakin bertambah, dan fisik yang tak lagi mumpuni, Mbah Marto pun memutuskan untuk “pensiun”. Ia hanya tinggal di rumah dan tidak berjualan lagi.
Namun, banyak pelanggan setianya yang menanyakan keberadaannya. Hingga, salah seorang pelanggan yang kebetulan tinggal tidak jauh dari rumahnya berkunjung ke rumah Mbah Marto.
Melihat kondisi Mbah Marto yang sudah sepuh dan tidak kuat lagi berjualan keliling sambil menggendong tenggoknya, sang pelanggan pun mengusulkan agar memasak dan berjualan di rumah saja. Mbah Marto mengiyakan usulan itu, dengan mencoba memasak dan berjualan Mangut Lele di rumah yang terletak di Dusun Nggeneng, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Bantul, Yogyakarta (belakang kampus Institut Seni Indonesia) itu. Itu terjadi pada tahun 1989.
Pada mulanya, hanya beberapa orang yang datang. Lantas dari informasi mulut ke mulut, pelanggan mulai berdatangan ke rumah sederhana itu. Meski begitu, tidak ada perubahan berarti yang dilakukan terhadap rumah ini. “Sebenarnya, menu yang disediakan juga sederhana yakni gudeg, sambel goreng krecek, opor, Mangut Lele plus gorengan. Tapi, ada segi rasa, totally enak di mana ada rasa gurih, manis, dan pedas,” jelas Catur.
Sementara dari sisi harga, ia melanjutkan, terjangkau. Harga mahasiswalah. Sebab, pada awalnya, pembelinya dari kalangan mahasiswa di mana dengan uang Rp20 ribu, mereka sudah bisa mendapatkan seporsi nasi (bisa nambah sepuasnya), gudeg, sambel goreng krecek, seekor Mangut Lele, dan es teh.
“Saat itu, kami bertiga menyantap lima ekor Mangut Lele, serta gudeg, sambel goreng krecek, dan nasi yang boleh ngambil sebanyak mungkin, plus tiga gelas es teh manis cuma merogoh kocek Rp100 ribu,” katanya.
Kalau mau berbicara tentang istimewanya, ada pada proses pembuatan Mangut Lele itu yang terbilang lama dan masih sangat tradisional (menggunakan tunggu berbahan bakar kayu, red.). “Dari informasi yang saya peroleh dari anaknya yang mendapatkan resep dan mandat untuk menjalan usaha ini dari Mbah Marto. untuk memanaskan bara apinya sudah dilakukan dari jam 02.00 sampai mendapatkan panas yang konstan. Selanjutnya, lele dimatangkan dengan cara diasapi. Dalam proses pengasapan, lele berulang kali dibolak-balik dan itu juga memerlukan waktu yang amat lama. Hasilnya, bukan cuma daging lele yang empuk, melainkan juga duri-durinya yang lunak. Selain itu, aroma lele asap yang menerbitkan air liur,” jelasnya.
Sedangkan sistem pelayanannya secara prasmanan. “Kami mengambil sendiri makanan yang akan kami santap di dapur sekaligus tempat makannya. Sehingga, tercipta suasana yang unik atau padu padan antara homey, ndeso, dan asap lele,” ucapnya.
Sementara Mbah Marto yang kini telah berusia 105 tahun, sesekali keluar dari kamarnya hanya untuk melihat proses memasak atau menyapa para pembelinya. Kadangkala, ia diajak berfoto oleh mereka.
Dengan “keistimewaan” semacam itu, lokasi Mangut Lele Mbah Marto yang mblusuk (Jawa: ke dalam dan tersembunyi, red.) dan sangat sederhana tidak menyurutkan para pembeli untuk datang berbondong-bondong. “Tempat parkirnya” selalu dipenuhi banyak mobil yang rata-rata datang dari luar kota.
“Kalau tidak paham wilayah itu, sebaiknya menanyakan ke penduduk setempat. Seperti, yang kami lakukan, meski saat itu sudah melihat tempat parkir yang penuh dengan mobil. Kami masih harus ‘blusukan’ ke dalam sebuah gang hingga bertemu dengan tukang parkirnya. Ndilalah (Jawa: kebetulan, red.), sang tukang parkir yang merupakan warga setempat juga sudah berusia sekitar 100 tahun dan mengenal baik kehidupan Mbah Marto,” ujarnya.
Mangut Lele Mbah Marto buka setiap hari pada jam 08.00−20.00. Namun, acapkali sudah tutup pada jam 16.00. Lantaran, stok sudah habis.