Lampion dari Limbah Botol Plastik
Botol plastik bekas, ternyata bisa diubah menjadi lampion berkelas dengan harga relatif tinggi. Hal ini, sudah dibuktikan Bob Novandy dan Bob’s Lampions-nya, yang telah mejeng dari kafe hingga taman kediaman para mantan presiden
Bisnis ini prospeknya bagus. Karena, modalnya kecil, sedangkan untungnya gede
e-preneur.co. Sampah, selama ini, keberadaanya seringkali disepelekan dan dianggap sebagai masalah bagi kelestarian bumi. Bahkan, ketika ia masuk ke dalam sungai dan terjadi banjir, sampah pun dituduh sebagai salah satu penyebabnya. Ironisnya, sikap tidak bersahabat ini justru datang dari manusia, yang notabene biang kerok kehadiran benda-benda yang biasanya kotor dan berbau itu.
Untungnya, tidak semua manusia beranggapan demikian. Salah satunya, Bob Novandy. Mantan Sekretaris Pribadi Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia ini, justru melihat potensi sampah. Dalam arti, jika diolah dengan benar, maka sampah akan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Sampah yang ia maksud di sini, hanya mengacu pada botol plastik bekas. “Mengapa cuma limbah botol plastik yang saya manfaatkan? Karena, saya melihat adanya unsur seni dalam benda ini. Di samping itu, botol plastik juga anti pecah, anti patah, dan anti basah,” jelas pria, yang akrab disapa Bob ini.
Selanjutnya, Bob membentuk botol-botol plastik bekas itu menjadi lampion. Tapi, bukan lampion sembarang lampion, yang pada umumnya ditempatkan dengan cara digantung. Lampion buatannya juga dapat ditempatkan dalam posisi duduk atau ditempelkan di dinding, laiknya lampu.
“Selama ini, lampion selalu dikaitkan dengan unsur-unsur Budaya Cina. Karena, dia memang lampunya orang Cina. Tapi, lampion saya memiliki bentuk lebih unik dan lebih banyak bermain di ruang,” tutur Bob, yang memberi “merek” hasil karyanya Bob’s Lampions. Untuk itu, agar hasil karyanya itu tampak lebih cantik, kadangkala ia menambahkan bahan baku lain yang juga berasal dari limbah, seperti kayu, pegangan payung, dan lain-lain.
Lampion-lampion aneka bentuk ini (Bob memiliki 100–150 item, red.), dijualnya dengan harga tergantung pada banyaknya botol plastik bekas yang digunakan, tingkat kesulitan dalam pembuatannya, dan ukurannya. “Saya pernah membuat lampion dari botol soft drink bekas merek terkenal. Saya menjualnya dengan harga Rp75 ribu/buah. Lampion-lampion tersebut, diborong oleh produsen minuman ringan itu,” ungkap Bob, yang lampionnya juga pernah dibeli oleh Tea Box Cafe.
Lampion-lampion cantik yang dipasangi lampu bohlam berkekuatan 5–15 watt ini, juga menghiasi berbagai taman di Ibukota dan Bogor. Seperti, di salah satu museum di Taman Mini Indonesia Indah dan Hotel Safari Garden di Puncak. Selain itu, juga di taman-taman kediaman para mantan presiden, termasuk mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sekadar informasi, di samping lampion, Bob juga menyusun botol-botol plastik bekas ini menjadi semacam tirai, yang dapat digunakan sebagai penutup jendela atau penyekat ruangan. Warna-warni yang terangkai dari botol-botol itu, juga menghasilkan kaligrafi tiga dimensi.
Bob memperoleh botol-botol bekas itu dari para pemulung, yang mengumpulkannya dari berbagai tempat sampah di Jakara Barat, khususnya Kebon Jeruk dan Tomang. Untuk setiap kilogramnya, saat itu, dihargai Rp4 ribu.
Selanjutnya, dengan bantuan gunting, cutter, dan alat bantu lain, Bob menghasilkan satu lampion dalam tempo satu jam atau 10 lampion/hari. Semuanya itu, dikerjakannya di workshop-nya yang terletak di kawasan Kebon Jeruk dan tanpa bantuan tenaga kerja.
“Bisnis ini prospeknya bagus. Karena, modalnya kecil, sedangkan untungnya gede. Selain itu, bila dikelola secara profesional dapat menjadi home industry yang menjanjikan. Dalam arti, mampu menyerap tenaga kerja, sekaligus mengurangi pengangguran. Bisnis ini juga tidak membutuhkan keahlian khusus,” ungkap pria, yang memulai usaha ini pada tahun 2003 atau saat masih bekerja di lingkungan DPR.
Kalau pun ada masalah, Bob yang juga menawari masyarakat untuk belajar membuat produk daur ulang botol bekas ini menambahkan, terletak pada masih terbatasnya pemasaran dan kemungkinan besar penjiplakan. Dan, lantaran kedua masalah tersebut, Bob memutuskan untuk hanya berproduksi jika ada pesanan.
Sebab, pertama, ia masih mengelola bisnis ini lebih pada segi artistiknya (sebagai seniman, red.) ketimbang secara profesional. Kedua, lampion-lampion ini sangat gampang dibuat dan dalam waktu relatif cepat.
“Selain itu, saya juga tidak mau berproduksi secara besar-besaran. Karena, kuatir dijiplak (tercatat, 33 karyanya sudah dijiplak, bahkan juga oleh warga asing, red.). Saya tidak dapat mengatasi masalah ini. Sebab, ketika mengajukan hak paten, ternyata saya harus membayar Rp600 ribu untuk satu lampion. Padahal, saya memiliki lebih dari 150 item,” pungkas Bob, yang pernah mengecap pendidikan di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan Akademi Pimpinan Perusahaan di Jakarta ini.
Lampion bukan sekadar lampu untuk menerangi lingkungan kita, melainkan juga suatu bentuk kreativitas yang bernilai jual tinggi. Lebih dari itu, lampion juga dapat menjadi bisnis yang menjanjikan, bila telah memiliki jaringan pemasaran.