Home / Inovasi / Cara Praktis Memakai Sambal

Cara Praktis Memakai Sambal

Abon Cabai Ninoy

 

Hanya tangan kreatiflah yang mampu mengembangkan hal yang biasa menjadi luar biasa. Setidaknya, unik. Seperti Henny Widjaja yang menciptakan sambal bukan sembarang sambal, melainkan dalam bentuk mirip abon dengan merek Ninoy. Sementara dalam penjualannya, dilakukan dengan sistem keagenan dan melalui online shop

 

e-preneur.co. Abon, biasanya terbuat dari daging baik daging sapi, ayam, atau ikan. Tapi, Henny Widjaja, justru membuatnya dari cabai.

Meski begitu, dalam pemakaiannya, abon cabai (begitu istilahnya, red.) tidak berbeda jauh dari abon-abon pada umumnya. Dalam arti, abon yang diberi merek Ninoy® ini cukup ditaburkan di nasi, mie, bakso, dan lain-lain dengan “status” sebagai sambal.

Atau, dicampurkan pada makanan yang sedang diolah hingga lahirlah aneka masakan balado. Dalam hal ini, fungsinya sebagai bumbu dapur.

Namun, abon cabai bukanlah bumbu dapur atau yang kita kenal dengan istilah bubuk cabai. “Pertama, abon cabai cenderung mirip dengan sambal, tapi kering dan bertekstur kasar. Sedangkan bubuk cabai adalah bumbu dapur dan bertekstur sangat halus,” jelas Henny,

Karena garing, Ninoy mempunyai masa kadaluarsa setahun

Kedua, abon cabai terbuat dari bahan utama cabai. Sementara, bubuk cabai, tidak tahu pasti apa bahan utamanya.

Ketiga, abon cabai yang berasa gurih ini siap konsumsi dengan apa pun. Sedangkan bubuk cabai yang berasa tawar itu, dalam pemakaiannya harus diolah terlebih dulu.

Keempat, dengan kondisi yang garing, abon cabai mempunyai masa kadaluarsa setahun. “Karena itu, banyak konsumen saya yang membawanya ketika bepergian ke luar negeri,” lanjutnya.

Di luar itu, abon cabai yang diciptakan Henny pada tahun 2008 ini tidak begitu mudah diproduksi. Untuk memperoleh hasil yang terlihat seperti saat ini, sarjana D-3 business management dari Bridge Business College, Sidney, Australia, ini harus melalui delapan bulan trial and error.

“Dimulai dari pengeringan dengan menggunakan sinar matahari. Tapi, kemudian, proses pengeringan tersebut terhalang oleh hujan. Bahkan, matahari yang tidak bersinar sempurna, cuma membuat cabai-cabai itu lembab. Selain itu, harus terus-menerus diawasi, membutuhkan lahan yang luas, dan berada di lingkungan yang bersih,” paparnya.

Untuk mengatasi hal ini, Henny menggunakan oven atau lebih tepatnya oven khusus. Disebut oven, sebab memiliki bentuk yang sama dengan oven pada umumnya, sementara disebut khusus karena ukurannya jauh lebih besar yang notabene daya tampungnya pun besar.

“Saya menggunakan oven tersebut untuk mengeringkan 150 kg cabai segar, yang terdiri dari cabai rawit merah dan cabe keriting merah,” ucap kelahiran Jakarta, 21 Juli 1974 ini. Kedua jenis cabai tersebut ia gunakan, sekadar untuk memperoleh warna yang bagus dan rasa pedas yang pas.

Namun, masalah belum berhenti sampai di situ. Ketika dikeringkan yang berlangsung 7–10 hari, bobot cabai yang sudah setengah matang ini akan menyusut seperenam hingga seperlimanya. Kondisi tersebut, tidak bisa dihindari. Karena, bahan baku yang digunakan merupakan hasil alam.

Masalah lainnya yaitu dampak lamanya proses pengeringan. Sehingga, home industry yang berlokasi di kawasan Karet Semanggi, Jakarta Selatan, tersebut hanya mampu berproduksi 3 kali–4 kali sebulan dengan hasil produksi 50–60 kg.

Selain itu, juga masalah ketersediaan bahan baku dan naik turunnya harga cabai. Untuk itu, ia mengatasinya dengan selalu menyimpan cabai dalam jumlah banyak, sebagai persediaan dan agar tidak terlalu bergantung pada pemasok.

Setelah cabai-cabai itu kering, lalu digiling dan dicampur dengan aneka bumbu pelengkap, dan terakhir dikemas dalam toples plastik. Pada mulanya, Henny hanya mengemasnya dalam toples yang disebutnya toples kecil dan toples besar, serta rasa original.

Dalam perkembangannya, ia mengemasnya dalam toples berukuran 100 gr dan 250 gr. Selain itu, dalam empat varian ras yaitu original, kentang ebi, teri bawang, dan belacan, serta crushed. Selanjutnya, perempuan yang berprofesi sebagai make-up artist ini juga mengeluarkan dalam bentuk sachet dan kemasan plastik vacuum seberat ½ kg.

Untuk mengetahui selera pasar, perempuan yang suka pedas ini, menjadikan teman-temannya sebagai “kelinci” percobaan. Dan, ketika mereka merasa cocok dengan rasa abon yang tidak menggunakan bahan pengawet dan bahan pewarna ini, Henny pun memasarkannya secara online hingga muncullah beberapa pesanan.

Dalam perjalanannya, Henny juga memasarkannya dengan sistem agen dan melalui online shop. Kini, dengan sekitar 70 agen yang bekerja sama dengannya, abon cabai ini tersebar ke beberapa kota di Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sulawesi.

Ibarat kerja keras yang terbayar setimpal, dalam waktu singkat, 50% hasil produksinya langsung diserap pasar (melalui agen). Ia juga merasa bangga karena sudah memiliki banyak pesaing. Salah satunya, yang dapat kita temui di berbagai tempat itu. “Itu tandanya produk saya disukai,” ucapnya.

Melalui produknya, Henny ingin memberitahu bahwa abon dapat dibuat dari bahan baku apa saja. Di sisi lain, dari cabai dapat dihasilkan aneka produk dan berbagai bisnis lain, seperti acar cabai, abon cabai hijau, rumah makan dengan menu utama abon cabai, galeri cabai, atau sekadar membudidayakan berbagai jenis cabai seperti yang menjadi angan-angannya.

Check Also

Cucian Bersih, Ekosistem Terjaga

Deterjen Minim Busa Isu ramah lingkungan membuat para pelaku usaha terus menggali ide untuk menciptakan …