Mie Ayam Grobakan
Produknya sih cuma mie ayam. Tapi, adanya riset, trial and error, serta jujur kepada mitra membuat Mie Ayam Grobakan berbeda dan unik, dibandingkan bisnis-bisnis lain yang menawarkan kemitraan
Mie Ayam Grobakan selalu menginformasikan yang serba jelek kepada calon mitra, agar mereka aware jika usaha ini tidak gampang
e-preneur.co. Apa yang dilakukan penggila mie, khususnya mie ayam, ketika ia akan membangun bisnis? Sudah pasti, dia akan membangun bisnis yang berhubungan dengan mie ayam. Dan, begitulah yang dilakukan Wahyu Indra, pemilik Mie Ayam Grobakan (MAG).
“Awalnya, istri saya yang bekerja harus berangkat jam 04.30 dan pulang jam 19.30. Bahkan, kadang jam 20.30. Lama-lama, saya berpikir kalau kondisinya tidak bisa begini terus,” kisah Wahyu.
Lalu, ia mengajak sang istri berdiskusi dan berhitung betapa sedikitnya uang yang tersisa setiap bulan, yang tidak sebanding dengan sang istri lakukan. “Akhirnya, kami memutuskan istri berhenti bekerja dan saya membuatkan warung untuk dia. Lantas, berlandaskan egoisme saya, maka jadilah warung itu warung mie ayam,” lanjutnya.
Padahal, saat itu, mereka belum mengetahui bagaimana membuat mie, topping-nya, dan sebagainya. “Kami pun melakukan riset, trial & error, mencari informasi ke sana-kemari, dan lain-lain selama setahun. Saya pribadi suka melakukan riset pasar, misalnya tentang rasa mie ayam yang enak itu yang bagaimana, bagaimana bentuk, rasa, topping, dan mesin untuk membuatnya, harganya berapa, market-nya siapa, dan sebagainya. Sehingga, nantinya, kami mempunyai diferensiasi. Sebab, kalau tidak mempunyai diferensiasi, yang terjadi justru nothing,” bebernya.
Sekadar informasi, dalam dunia mie ayam, sebenarnya market-nya sudah jelas. Karena itu, jika tidak ada diferensiasinya, maka MAG akan sama saja dengan mie ayam-mie ayam yang ada. “Dan, diferensiasi itu kami letakkan pada mie yang kami buat sendiri,” ujarnya, tentang mie buatannya yang memiliki bentuk kecil-kecil dan teksturnya tidak berubah meski sudah dalam kondisi dingin, tidak menggunakan bahan kimia sama sekali, tanpa air, dan full telur.
Selanjutnya, MAG pun dibuka pada hari kedua ramadhan 2008. “Masalah pembukaan ini bagi saya penting sekali. Karena, kalau sudah menancap di kepala konsumen, pasti bisnis ini long lasting,” katanya. Kemudian, sarjana periklanan dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini, membuat brosur dan menyebarkannya ke mana-mana di mana hal ini sampai sekarang masih terus ia lakukan per tiga bulan sekali.
Namun, lantaran saat itu masih bekerja di sebuah production house (PH), kelahiran Jakarta, 3 Mei 1972 ini belum fokus di usaha ini. Imbasnya, antara tahun 2009 hingga pertengahan tahun 2010, karena kurang terkontrol, maka terjadi kebocoran dalam keuangan. Tapi, ternyata, dari sini muncul ilmu baru yaitu bagi hasil dengan karyawan.
Lalu, karena merasa stamina sudah tidak kuat lagi mengikuti ritme kerja di PH, Wahyu memutuskan resign dan fokus di usahanya. Hasilnya, omset kembali normal, sebulan bisa sampai Rp6 juta.
Namun, dalam perjalanannya, ia merasa omset sebesar itu tidak mencukupi lagi untuk biaya hidup. Akhirnya, terpikir untuk membuka cabang.
“Namun, ketika menyadari risikonya, saya mempunyai dua alternatif yaitu mie-nya di lempar ke pasar atau dimitrakan. Kalau mie-nya dilempar ke pasaran, harganya lebih mahal daripada mie yang lain yaitu Rp25 ribu/kg. Bisa jadi nanti cuma dilalerin. Pilihan terakhir, tentu saja dimitrakan,” ungkap pria, yang membuka usahanya di pinggir Jalan Merpati 6, Perumnas Depok I ini.
Pada tahun 2010, MAG pun menawarkan kemitraan dengan harga Rp8,5 juta. Karena, modal awal membuka usaha ini hanya Rp27 juta.
“Kalau saya mahalkan, kasihan mitra saya, modal mereka lama kembalinya. Selain itu, kepada calon mitra yang datang selalu saya informasikan yang serba jelek di usaha ini, agar mereka aware jika usaha ini tidak gampang. Sekali pun, bagi sebagian mitra, nilai kemitraan ini dianggap kecil,” ucapnya.
Dengan itu, mitra mendapatkan booth, peralatan masak, dan bahan baku sebanyak 10 kg atau 120 porsi plus brosur. Jika brosur-brosur tersebut disebarkan dengan baik dan benar, 120 porsi akan habis dalam sehari. Jika bahan baku sudah habis, mitra harus membeli lagi, dengan harga Rp25 ribu/kg dan minimal pembelian 25 kg. “Mie ini, jika ditempatkan dalam freezer, bisa tahan sampai dua bulan,” tambahnya.
Di luar itu, Wahyu tidak menjanjikan apa pun. Tapi, dari hasil riset, dengan perhitungan sewa tempat dan besarnya penjualan, akan diketahui kapan balik modal. Seperti, penjualan 25 porsi maka akan balik modal empat bulan, 50 porsi (dua bulan), 75 porsi (sebulan), dan pada penjualan 100 porsi maka 25 hari sudah balik modal.
Di samping itu, dalam usaha yang dapat dijalankan tanpa pegawai ini tidak dibebankan royalty fee. Mitra justru akan mendapat supporting, melalui gathering yang diadakan setiap tahun.
“Dalam gathering, kami sudah seperti keluarga di mana yang baru membuka usaha bisa bertanya ke mereka yang sudah sukses,” ujarnya. Imbasnya, dalam tempo empat tahun, MAG memiliki 252 mitra yang tersebar di Aceh, Makassar, Bali, Lombok, dan Jabodetabek.
Namun, tidak boleh dikatakan kemitraan ini berjalan dengan mulus, ada yang terus buka, ada juga yang kemudian tutup, tapi kemudian buka lagi di lokasi yang lain. Sehingga, total hanya 60% mitra yang aktif. Sekadar informasi, di sini, mitra boleh membeli kemitraan lebih dari satu dan dalam hal ini sudah ada lima mitra yang mempunyai lebih dari satu outlet.
Namun, sebenarnya, Wahyu tidak pernah menargetkan jumlah mitra. Ia lebih suka menambah varian menu dan mengembangkan diri. Misalnya, untuk mengatasi masalah klasik dalam membangun dan menjalankan usaha yaitu karyawan dan lokasi.
Untuk masalah lokasi, mengingat harga sewa tempat terus beranjak naik setiap tahun, MAG menghadirkan MAG Motoran. Dengan konsep ini, pedaganglah yang menghampiri konsumen baik yang berada di kompleks-kompleks perumahan, taman, tempat hiburan, dan sebagainya. MAG Motoran juga bisa menerima katering atau pesanan untuk berbagai acara.
Sementara untuk masalah karyawan, lantaran biasanya digaji di bawah UMR (Upah Minimum Regional), mereka cenderung memiliki tingkat loyalitas rendah. Imbasnya, akan berpindah-pindah tempat kerja. Tapi, dengan adanya tawaran MAG Motoran, mereka diposisikan sebagai mitra. Namun, tentu saja, mereka disyaratkan mempunyai sepeda motor.