Kerajinan Bambu Rejosari Bambu
Untuk meningkatkan harga jual produk, inovasi merupakan cara yang paling sering digunakan. Demikian pula, yang dilakukan Emi dengan KUP Rejosari Bambu-nya. Meski pemasarannya masih alon-alon (perlahan), tapi kelakon (pasti). Terbukti, beberapa kota meminati kerajinan bambu dari Desa Rejosari ini
Produk-produk inovatif ini, menyasar berbagai rumah makan yang mengusung konsep tradisional atau yang berpikir produk lokal/produk alam itu bisa dipakai
e-preneur.co. Menjadi sentra kerajinan dari bambu, ternyata tidak membuat Desa Rejosari, Kecamatan Ambal, Kebumen, dikenal khalayak ramai. Hal itu bisa dimaklumi, mengingat hasil karya pengrajinnya hanya sebatas teplok (lampu tempel), cething (tempat nasi), tampah, besek, dan sebagainya.
Kondisi ini, menggugah nurani Umiyati untuk melakukan inovasi produk agar harga jualnya lebih tinggi, sekaligus mengangkat nama desa yang 85% penduduknya merupakan pengrajin bambu ini. Lalu, pada tahun 2016, ia membentuk Kelompok Usaha Produktif (KUP) Rejosari Bambu.
Di sisi lain, meski bambu sebagai bahan baku utama kerajinan ini melimpah di desa ini, ternyata tidak dapat digunakan. Lantaran, kualitasnya kurang bagus. “Bambu di sini ditanam di dataran rendah. Setelah ditebang, lalu kita taruh begitu saja selama beberapa hari, bambu itu akan menghitam,” ungkap Emi, sapaan akrabnya.
Karena itu, Emi memilih mengambilnya di Pasar Kutowinangun. Bambu yang dimaksud yakni Bambu Tali yang banyak ditanam di dataran tinggi (dan juga dataran rendah). Bambu Tali mudah diseseti (diraut).
Pada mulanya, bambu ini dibeli dalam bentuk batangan, kemudian diolah sendiri hingga siap anyam. Tapi, prosesnya tidak segampang itu. Sebab itu, dibutuhkan waktu lebih dari satu hari. Selain itu, bambu akan menghitam bila tidak segera digunakan.
“Untuk menghemat waktu, akhirnya kami membeli yang sudah siap anyam saja. Meski, imbasnya, HPP (Harga Pokok Penjualan) menjadi naik,” lanjutnya.
Mengingat inovasi yang dilakukan Rejosari Bambu yang beranggotakan 20 orang ini belum diketahui banyak orang, maka bambu pun dibeli secara bertahap. “Kalau sedang banyak pesanan, kami membeli 5−10 lanjer (batang),” ucapnya.
Berapa banyak yang dihasilkan, tergantung produk apa yang dibuat. Misalnya, untuk produk berukuran terkecil (cething) dapat dihasilkan hingga 200 buah, sedangkan untuk produk berukuran terbesar, lebih tepatnya memerlukan bahan baku paling banyak seperti tempat tisu, hanya dapat dihasilkan separuhnya.
Sementara produk inovatif yang dimaksud, di antaranya tempat buah, vas, tempat pensil, tempat tisu, dan tas (belum dimunculkan, karena belum sempurna). Produk-produk ini, dipatok dengan harga relatif murah yakni Rp8 ribu-Rp60an ribu. “Sebab, belum dilirik. Bahkan, di kalangan masyarakat Kebumen. Jadi, kami harus terus mencari pasar,” ungkapnya.
Produk-produk inovatif ini, menyasar berbagai rumah makan yang mengusung konsep tradisional atau yang berpikir produk lokal/produk alam itu bisa dipakai. Untuk itu, mereka bisa membelinya secara online melalui facebook (emitcc smile), whatsapp, dan fanpage (kup rejosari bambu) dengan minimum order dua kodi per item untuk grosir atau jika ingin eceran harga dihitung satuan. Saat ini, Rejosari Bambu sudah menerima pesanan dari Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta.
Merunut ke belakang. Rejosari Bambu dibangun dengan modal awal Rp200 ribu, yang diambil dari kocek pribadi Emi. Lalu, modal ini digunakan untuk membeli bambu dan pernis. Tapi, meski kini sudah balik modal, Emi belum mengambil kembali uangnya dan memilih menggunakannya untuk menambah modal.
Setelah Rejosari Bambu terbentuk, untuk menambah modal, seminggu sekali para anggotanya iuran sebesar Rp3 ribu. “Tapi, sejak beberapa waktu lalu, saya sudah tidak minta iuran lagi. Karena, sudah ada uang kelompok, dalam arti, modal yang kami kumpulkan sudah banyak. Lantas, uang kas itu saya putar,” jelasnya.
Selanjutnya, mereka berproduksi secara otodidak dan belum ada upah untuk pengrajinnya. Mengingat, belum mengetahui hasilnya akan seperti apa.
Namun, setelah ada penjualan produk, maka uang hasil penjualan berapa pun itu jumlahnya dibagi rata (upah distandarkan, red.). Lalu, sisanya dimasukkan ke dalam kas. “Kami memperhitungkan semuanya dari modal, kas, hingga profit,” lanjut lulusan Sekolah Menengah Atas ini.
Tapi, tidak berarti kemudian segalanya berjalan dengan mulus. Mengingat, selalu ada pengrajin yang tidak mau tahu, dalam arti, mereka merasa sudah membuat maka mereka harus diberi upah.
“Hal itu, yang membuat saya agak kerepotan dalam mengelola keuangan. Karena itu, modal saya putar terus dan saya jelaskan jika ini kerja kelompok. Jadi, mereka harus mengetahui dari mana mereka mendapat upah,” paparnya.
Selain pola pikir, masalah lain berkaitan dengan para pengrajin yakni semangat kerja. “Kalau tidak terus-menerus digenjot, mereka cenderung akan kembali membuat produk lama. Apa lagi, mereka masih merasa kesulitan mengubah dari produk yang biasa mereka buat menjadi produk baru. Misalnya, dari tampah menjadi vas bunga,” tambahnya.
Sebab itu, meski usaha ini hanya berproduksi bila sedang ada pesanan dan jika persediaan sudah habis, seminggu sekali para pengrajinnya tetap harus berproduksi. Bukan untuk dijual, melainkan belajar membuat produk baru sekaligus untuk mengetahui kemampuan mereka.
“Dari situ, kami bisa melihat hasilnya apakah sudah pantas dijual atau belum,” ungkap Emi, yang setiap bulan membukukan omset kurang lebih Rp3 juta.
Namun, apa pun masalah yang menyertai perjalanan Rejosari Bambu, Emi meyakini bila prospek bisnisnya bagus di Kebumen. Ada masa depan, karena ini inovasi yang pertama dalam kerajinan bambu di kota kabupaten ini.
Untuk meningkatkan pemasaran dan agar keberadaan Rejosari Bambu diketahui, ke depan Emi berencana mempunyai rumah produksi yang memang milik kelompok. Mengingat, rumah produksi yang ada saat ini bagian dari rumahnya. Ia akan mewujudkan rumah produksi tersebut pada tahun 2019.
Berikutnya, menjadikan Rejosari sebagai desa wisata. “Baru-baru ini, saya mengikuti lomba desa dengan kategori UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). Desa wisata saya masukkan. Saya meraih juara 2 dan mendapat Rp150 juta yang akan saya gunakan untuk membuat rumah produksi,” pungkas kelahiran Banyumas, 19 November 1987 ini.