Home / Agro Bisnis / Memikat Pasar Mancanegara

Memikat Pasar Mancanegara

Sidat

 

Pantai Selatan Indonesia menyediakan sidat, secara melimpah ruah dan gratis. Sementara pasar mancanegara, terutama negara-negara Asia Timur, selalu siap menampungnya dengan harga menggiurkan. Tapi, sayang, pembudidayanya, karena alasan-alasan tertentu, justru masih sangat jarang

 

[su_pullquote]Sebenarnya dapat dilakukan percepatan melalui makanan yang diberikan[/su_pullquote]

e-preneur.co. Jika disebut nama belut, tentu sudah pernah mendengar. Bahkan, mengonsumsinya.

Tapi, bagaimana dengan sidat? Mungkin, masih terasa asing di telinga, ya? Maklum, karena harganya mahal, binatang yang satu ini jarang dijumpai di pasar ikan. Imbasnya, ia kalah popular dengan “saudaranya” itu.

Namun, menurut Halim, sidat bukan belut, meski secara fisik agak mirip. Sebab, jika belut memiliki bentuk kepala lancip dan bulat, maka sidat mempunyai bentuk kepala segitiga, badan berbintik-bintik, dan ekor yang mirip ekor lele.

Sidat juga bukan belut berkuping. Karena, yang selama ini dianggap telinga, sebenarnya sirip.

Sementara dilihat dari ukurannya, panjang tubuh belut mentok di angka 60 cm. Sedangkan panjang sidat sekitar 80 cm−100 cm (sumber lain menyatakan, panjang hewan yang juga dikenal dengan nama moa ini bisa mencapai 125 cm, red.).

Dan, dilihat dari bobotnya, sidat yang tergendut seberat sekitar 1 kg. Bahkan, di Pulau Enggano, beratnya bisa sampai 10 kg.

“Dulu, untuk pasar ekspor, yang diminta sidat seberat 200 gr−250 gr. Sekarang, yang diminta lebih dari 500 gr tapi kurang dari 1 kg. Sementara harga belinya kala itu Rp90 ribu/ekor, tapi kami menawarkan Rp120 ribu/ekor,” ujar pria, yang biasa disapa Pak Haji ini.

Untuk baby sidat, Pak Haji melanjutkan, pasar ekspor pernah berani membayar Rp700 ribu−Rp900 ribu per kilogramnya. Sedangkan pasar lokal, mematok harga Rp400 ribu−Rp600 ribu untuk setiap kilogramnya.

“1 kg itu berisi 5 ribu−7 ribu ekor baby sidat berumur sehari dan berukuran 2 inci,” jelas supplier sekaligus pelatih pembesaran sidat ini.

Sebenarnya, benih sidat telah disediakan secara gratis dan melimpah oleh alam ini. Terutama, di sepanjang Pantai Selatan hingga Filipina. Hewan ini sering muncul ke permukaan pantai, saat tidak ada cahaya bulan.

“Dulu, saya memperolehnya di Cilacap. Tapi, ukurannya agak besar. Sementara, untuk yang masih baby, banyak terdapat di sepanjang Pantai Selatan,” kata kelahiran Brebes, Jawa Tengah, ini.

Sidat, baik yang bermotif polos maupun yang bermotif kembang (biasanya dijumpai di Indonesia Bagian Timur, red), pada dasarnya memiliki rasa yang sama yaitu sangat gurih. Mengingat, hewan ini mengandung minyak dan protein tinggi. Sehingga, dapat diolah menjadi makanan lezat dan mewah, yang biasanya dihidangkan oleh berbagai restoran mahal dan hotel berbintang.

Selain itu, juga dapat diolah menjadi obat tradisional. Orang-orang Cina di Bengkulu meyakini, lendir moa berkhasiat untuk pengobatan.

Untuk itu, pada umumnya, mereka mengambil moa untuk diternakkan. Selanjutnya, lendirnya diambil sewaktu-waktu untuk dikemas dalam bentuk pil obat.

Ya, bintang yang juga sering dianggap Belut Air atau Belut Laut ini, tidak sulit dibudidayakan atau lebih tepatnya dibesarkan. Sebab, hanya dibutuhkan kolam yang sama dengan kolam ikan untuk baby sidat dan empang untuk sidat yang sudah mulai besar.

Selain itu, juga paralon atau apa saja, yang dapat mereka gunakan untuk bersembunyi. Karena, mereka menyukai tempat yang gelap.

Untuk makanannya, hewan air yang disebut orang bule sebagai eel fish ini, juga mudah. Karena, dapat diambil dari alam, seperti Cacing Sutra atau Cacing Rambut.

“Sebagai carnivora, apa pun yang berkonotasi daging dapat dijadikan makanan mereka. Bahkan, jika sejak awal sudah dibiasakan, mereka juga dapat makan pellet,” kata pemilik 10 kolam ikan di kediamannya yang terletak di sekitar Kalideres, Jakarta Barat, ini.

Kalau pun ada masalah dalam pembesarannya, ia melanjutkan, hanya masalah waktu. Imbasnya, dibutuhkan modal yang lumayan besar.

“Banyak yang mengatakan perkembangannya lambat. Memang, dibutuhkan waktu maksimal setahun untuk membesarkannya. Tapi, sebenarnya, dapat dilakukan percepatan melalui makanan yang diberikan,” ungkapnya.

Contoh, secara profesional, pellet diberikan sebanyak 20% dari bobot ikan per hari. “Tapi, untuk saya atau secara tradisional ya secukupnya atau sekenyangnya,” lanjut pria, yang sering dititipi pembesaran sidat karena “teknologi” yang digunakannya.

Sedangkan kapan sebaiknya dipanen, sangat tergantung pada bobot mereka, bukan umurnya. “Sidat berukuran 2 inci dipelihara di kolam. Setelah berukuran 4−5 inci, dipindahkan ke empang,” jelas Halim, yang melakukan pembesaran sidat sejak tahun 1982, dengan modal Rp5 ribu.

Selanjutnya, ia menambahkan, dilakukan pembesaran sesuai dengan bobot yang diinginkan. Saat mereka berada di empang, ukuran dan bobot mereka tidak sama, walau seumuran. Maklum, untuk masalah makan ‘kan kadang ada yang rakus dan ada pula yang kalah berebut makanan.

Mungkin, karena alasan modal itulah, ia melanjutkan, masih sangat jarang orang yang membidayakan satwa air yang dikelompokkan dalam ikan berbentuk tubuh mirip ular ini. “Karena, bila hanya dilakukan dalam skala rumah tangga yaitu 1 kolam (1 kolam = maksimal 7 ribu baby sidat, red.), kesannya hanya iseng. Sehingga, tidak menguntungkan,” katanya.

Untuk itu, dalam skala bisnis, dibutuhkan minimal 10 kolam. Sementara untuk industri besar, diperlukan 1.000 kolam. “Jadi, maklum, kalau belum banyak yang tertarik,” imbuhnya.

Imbasnya, sidat belum mampu memenuhi pasar lokal. Sedangkan yang ada, boleh dikata, ditolak oleh pasar. Mengingat, harga jualnya terlalu mahal. Bahkan, untuk bobot yang paling standar sekali pun yaitu 200 gr−250 gr. Prospeknya? “Kalau tidak bagus, nggak mungkin diburu orang, kan?” pungkasnya.

Catatan:

Untuk membesarkan sidat, dibutuhkan setidaknya 10 kolam ikan. Setiap kolam diisi maksimal 7.000 baby sidat.

Untuk makananya, awalnya diberi Kutu Air yang dapat diperoleh secara gratis. Setelah perut mereka terbiasa dan mereka makin besar, diganti dengan Cacing Sutra dengan porsi ¼ gayung per kolam, selama beberapa hari. Setelah berumur sebulan, makanannya diganti pellet dengan porsi ⅓ kg per kolam sampai siap panen atau berumur 4−6 bulan.

Pembesaran ini hemat biaya. Sebab, dapat dikerjakan sendiri, Anda hanya tinggal memberi upah yang layak kepada para pengumpul baby sidat jika tidak ingin membelinya, dan pakannya bisa diperoleh dari alam.

Check Also

Menyehatkan Konsumennya, Menguntungkan Petaninya

Beras Hitam Organik Meski buruk rupa, tapi kaya manfaat kesehatan. Tidak mengherankan, bila peminat Beras …