Nila Gesit
Dalam proses pembudidayaan Ikan Nila, terjadi perkembangan yang pesat. Bahkan, hingga menyertakan berbagai teknologi. Salah satunya, teknologi perbaikan genetika yang menghasilkan Nila Gesit atau nila yang semuanya berkelamin jantan
[su_pullquote]Nila Gesit mampu mencapai berat 600 gr pada umur 5−6 bulan. Sedangkan nila biasa, hanya sekitar 400 gr pada umur yang sama[/su_pullquote]
e-preneur.co. Ikan Nila (Latin: oreochromis niloticus, red.), tentu Anda sudah mengetahuinya. Tapi, bagaimana dengan Ikan Nila Gesit?
Bisa dimaklumi, bila Anda mendengarnya pun baru sekarang. Sebab, satwa air yang satu ini, baru diresmikan kehadirannya oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada 15 Desember 2006 di Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat. Tepatnya, setelah melalui penelitian yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Institut Pertanian Bogor, dan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, sepanjang Januari 2001 hingga Desember 2006.
Dinamakan Nila Gesit (untuk selanjutnya, istilah ini yang digunakan, red.), karena ikan ini merupakan hasil rekayasa genetika. Atau, lebih tepatnya, rekayasa kromosom di mana kromosom seks nila jantan normal (kromosom XY) dipertemukan dengan kromosom seks nila betina normal (kromosom XX) dan hasilnya berupa nila jantan dengan kromosom seks YY. Sementara, Gesit itu sendiri merupakan kependekan dari Genetically Supermale Indonesian Tilapia.
“Teknologi produksi Nila Gesit merupakan inovasi teknologi perbaikan genetika, untuk menghasilkan keturunan nila berkelamin jantan. Program pengembangbiakan ini, menggabungkan teknik feminisasi dan uji progeni. Hasilnya, berupa nila jantan yang memiliki kromosom YY (YY genotypes),” jelas Khairuman, Kepala Seksi Aplikasi Teknologi di Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi, Subang, Jawa Barat.
Nila Gesit dihadirkan sebagai solusi untuk menghindari produksi yang tidak efisien. Sebab, dalam proses budidaya alamiah dihasilkan rasio nila jantan dan betina yaitu 60:40. Selain itu, hasil riset memperlihatkan bahwa nila jantan tumbuh 1,5 kali lebih cepat dibandingkan yang betina.
Di sisi lain, ikan ini cocok dikembangbiakkan di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga, pada akhirnya, budidaya diarahkan hanya untuk menghasilkan nila jantan (monosex male) guna meningkatkan efisiensi usaha dalam rangka memenuhi permintaan ekspor.
Di samping itu, lantaran terjadinya penurunan kualitas indukan Ikan Nila. Sehingga, kebutuhan akan indukan yang bermutu sangat diharapkan, dalam rangka memperoleh benih yang berkualitas. Karena itulah, dalam budidaya ikan yang nenek moyangnya berasal dari Taiwan ini, banyak dikembangkan berbagai teknologi untuk meningkatkan mutu indukannya.
Hal ini, juga berkaitan dengan Nila Gesit itu sendiri. Sebab, berbeda dengan hasil perbaikan genetika pada umumnya, Nila Gesit yang dikembangbiakkan mulai tahun 2007 ini tidak cuma difungsikan sebagai hewan konsumsi, tapi juga dapat digunakan sebagai pejantan.
“Mengawinkan Nila Gesit (nila jantan dengan kromosom seks YY) dengan nila betina normal (kromosom seks XX) akan menghasilkan—secara ilmiah (academic excellent)—nila yang 98%−100% berkelamin jantan (kromosom seks XY) atau yang secara ilmiah diistilahkan sebagai genetically male tilapia,” ungkap Uman, begitu ia akrab disapa.
Sementara, secara ekonomi, Nila Gesit memiliki pertumbuhan yang lebih cepat yakni mampu mencapai berat 600 gr pada umur 5−6 bulan, sesuai dengan permintaan pasar ekspor. Sedangkan nila biasa, pada umur yang sama hanya berbobot sekitar 400 gr. Selain itu, dalam proses pembudidayaannya dapat menurunkan biaya produksi 20%−25%.
Di sisi lain, dalam tenik budidayanya pun tidak jauh berbeda dengan nila pada umumnya. Menurut pengajar di berbagai pelatihan budidaya perikanan air tawar di daerah-daerah ini, teknik penyeleksian indukan pemijahan dilakukan dengan melihat tanda-tanda pada tubuhnya.
Tanda pada indukan betina yaitu tubuh memanjang, warna agak kusam, perut agak gendut, gerakan lamban, mempunyai dua lubang kelamin (satu lubang telur dan satu lubang kencing, red.) dan berbentuk membulat, serta berbobot 300–500 gr. Sedangkan tanda pada indukan jantan yakni tubuh membulat, warna cerah, bersirip kemerahan, gerakan lincah, serta mempunyai satu lubang kelamin yang berbentuk memanjang dan terkadang keluar cairan putih bening bila dipijit. Bobotnya sekitar 400−500 gr.
Frekuensi pemijahan, ia melanjutkan, paling sering dilakukan di saat musim penghujan. Dan, indukan nila sebaiknya dipijahkan enam kali dalam setahun. Sebab, jika lebih dari itu, biasanya larva yang dikeluarkan kurang bagus kualitasnya.
Seekor induk nila dengan berat 300 gr dapat menghasilkan 500−750 butir telur. Sedangkan yang berbobot 400 gr atau lebih dapat menghasilkan 750−1.000 butir. Sementara, kemampuan telur-telur ini bertahan hidup sangat tergantung pada manajemen pemeliharaan.
“Kalau dipelihara dengan bagus, bisa mencapai 90% dari total benih yang disebar,” kata sarjana pertanian dari Sekolah Tinggi Petanian, Bale, Bandung, ini.
Dalam pemasarannya, ia menambahkan, ikan yang tidak mempunyai efek samping meski hasil dari perbaikan genetika ini, bisa dijual dalam bentuk benih sebagai hasil kegiatan pembenihan atau pendederan, bisa pula dalam bentuk siap konsumsi dengan berat mulai dari 300 gr.
“Bila berminat memperoleh benihnya atau sebagai pejantan dapat membelinya di BBPBAT Sukabumi, Unit Pembenihan Rakyat, atau Balai Benih Ikan yang ada di kabupaten kota,” sarannya.
Prospeknya? “Cukup bagus, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Hal ini, dapat dilihat dari banyaknya permintaan indukan dan benihnya dari para pembudidaya untuk mengembangkannya di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan,” pungkas kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, 19 Januari 1962 ini.
Catatan
Keuntungan pada usaha pembesaran Ikan Nila dapat ditingkatkan dengan pola tanam sistem polikultur antara Ikan Nila dengan Ikan Mas, dengan menempatkan Ikan Nila pada bagian “kolor” di jaring apung.