Beternak Kelinci
Pengalaman mengatakan bahwa beternak kelinci itu menguntungkan. Apalagi, jika mampu memanfaarkan setiap bagian tubuhnya menjadi berbagai produk olahan. Seperti yang dilakukan UR 2 Farm, yang bukan hanya menghasilkan produk olahan kelinci yang ramah lingkungan, melainkan juga zero waste
[su_pullquote]Beternak kelinci itu kecil sekali modalnya, tapi besar banget untungnya[/su_pullquote]
e-preneur.co. Mengonsumsi daging, seperti daging ikan, ayam, kambing, sapi, atau bahkan kerbau sudah biasa kita lakukan. Tapi, mengonsumsi daging kelinci, boleh dikata, baru sebagian dari kita yang pernah melakukan.
Itu pun, tidak sebanyak dan sesering mengonsumsi daging-daging seperti tersebut di atas. Dengan kata lain, masih sekadar memuaskan rasa penasaran atau icip-icip saja. Apa pasal?
Menurut Nuning Priyatna, hal ini terjadi, lantaran sebagian besar anggota masyarakat masih berpikir bahwa kelinci adalah hewan peliharaan. Dalam arti, lucu dan imut.
“Karena membayangkan hal itu, mereka merasa kasihan dan tidak tega menyantapnya. Padahal, kelinci pedaging tidak seperti itu. Dalam arti, secara fisik, mereka jelek. Sebab, bulu-bulu mereka kasar,” kata pemilik peternakan kelinci di kawasan Kopo, Cisarua, Bogor, ini. Imbasnya, tidak terlalu mudah menjual daging mamalia yang satu ini.
Padahal, daging kelinci, berdasarkan penelitian, diketahui rendah kolesterol dan lemak, serta tinggi proteinnya. Sementara dari segi rasa, lebih gurih dan empuk ketimbang daging ayam.
Sehingga, daging hewan yang berjalan dengan gaya melompat-lompat ini, layak dijadikan alternatif/pengganti daging-daging lain. Lebih daripada itu semua, nilai jualnya berada di bawah daging sapi dan di atas daging kambing.
“Untuk kelinci pedaging yang aku punya, jantannya dari jenis Giant dan betinanya dari jenis New Zealand atau dengan kata lain kelinci pedaging impor. Harga per kilogramnya (saat wawancara ini dilakukan) Rp65 ribu−Rp70 ribu, dalam bentuk sudah di-fillet (daging tanpa tulang, red.),” ucap Nuning, yang memiliki 12 jenis kelinci baik kelinci pedaging maupun hias, seperti Rex, Angora, Fuzzy Lop, Netherland Dwarf, Hottot, Satin, Dutch, Lyon, New Zealand, Flemish Giant, Silver Martin, dan Holland Lop.
Sementara untuk kelinci hias, ia menambahkan, meski dagingnya tidak dapat dimanfaatkan (dikonsumsi), tapi nilai jualnya jauh lebih tinggi dibandingkan kelinci pedaging. Karena, kelinci hias memiliki bulu, warna, dan bentuk tubuh yang indah. Contoh, kelinci jenis Angora yang semakin besar semakin cantik. Sebab, bulu-bulunya tumbuh semakin panjang dan indah.
“Untuk kelinci hias, aku biasanya menjualnya melalui berbagai pameran. Untuk anakan usia sapih (dua bulan, red.) aku menjualnya dengan harga sekitar Rp250 ribu/ekor, sedangkan untuk indukannya kurang lebih Rp3 juta/ekor (tergantung jenisnya, red.),” ujar pemilik 1.000 ekor kelinci ini.
Di sisi lain, ia melanjutkan, kelinci baik pedaging maupun hias mempunyai produktivitas yang cepat. Hewan yang berkerabat dengan terwelu ini, sudah dapat dikawinkan pada umur enam bulan. Lantas, si betina akan segera bunting selama satu bulan. Selanjutnya, ia akan melahirkan 4−12 ekor anak kelinci.
“Dalam setahun, bisa terjadi 5−6 kali kehamilan dan kelahiran. Sementara, masa produktif kelinci betina bisa berlangsung sampai ia berumur lima tahun (masa hidup kelinci 8–10 tahun, red.). Ketika masa produktifnya berakhir, biasanya aku potong,” ujar perempuan, yang menamai peternakannya UR 2 Farm (sekarang: UR 2 Farm Rabbit Project, red.) ini.
Dalam setiap pembiakan, selalu ada risiko kematian. Pada umumnya, kelinci yang diternakkan mempunyai risiko kematian lebih dari 20%. Tapi, di UR 2 Farm, risiko itu dapat dikurangi hingga tinggal 3%.
Hal itu terjadi, sebab, peternakan kelinci seluas 1 ha ini sudah meninggalkan cara-cara tradisional. Contoh, untuk pakannya, tidak lagi sayuran mentah dan rumput basah yang adakalanya justru membuat kelinci-kelinci itu kembung perutnya.
Di UR 2 Farm, pakan tersebut dimatangkan terlebih dulu dengan cara di-oven, kemudian dibentuk menjadi pellet, dan diletakkan dalam tempat makan. Sementara untuk minumannya, juga diletakkan di tempat minum khusus.
Imbasnya, kotoran mereka tidak terlalu bau, selain kebersihan dan kesehatan mereka lebih terjaga. Dan, seperti sudah dikatakan di atas: risiko kematian dapat dikurangi.
“Pada dasarnya, kelinci merupakan binatang yang gampang sakit dan mati. Ironisnya, penyebabnya justru kotoran dan air kencing mereka sendiri. Untuk itu, aku juga mendesain kandangnya sedemikan rupa. Sehingga, kotoran terpisah dengan urine,” tutur Nuning, yang membangun peternakannya pada tahun 2008.
Setahun kemudian, Nuning bukan hanya menjual kandang hasil kreasinya, melainkan juga memproduksi dan menjual makanan kelinci tersebut, yang dikemas dalam karton dengan nama Rabbit Food. Saat ini, Rabbit Food telah dipasarkan sampai ke Sumatera dan Kalimantan.
Selain itu, sarjana administrasi niaga dari Universitas Brawijaya, Malang, ini juga mengolah kotoran kelinci tersebut menjadi pupuk padat yang dinamainya Pu-Ci (Pupuk Kelinci) dan urine-nya menjadi pupuk cair dengan nama U-Ci (Urine Kelinci). “Setiap bulan, aku memproduksi sekitar 100 kg Pu-Ci yang masing-masing dikemas dalam karung seberat 5 kg dengan harga sekitar Rp15 ribu/karung. Lalu, aku menjualnya ke Jakarta melalui tangan kedua,” katanya.
Nuning belum mau berhenti sampai di situ. Tahun 2010, ia mengolah daging-daging kelinci peliharaannya menjadi bakso (So-Ci), nugget (Nu-Ci), kaki naga (Kana-Ci), hot stick, dan siomay (May-Ci), selain menerima permintaan dalam bentuk fillet dan karkas (daging tanpa kepala dan isi perut, red.). Olahan daging kelinci tersebut dikemas dalam wadah plastik berbobot 250 gr dan diberi merek UR 2 Farm, yang dijual dengan harga satuan kurang lebih Rp20 ribu.
Sejauh ini, produk olahan ini sudah “dilempar” ke berbagai resto di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sebanyak 200−300 kemasan per bulan. Di samping itu, ia juga memasarkan sayuran organik (daun bawang, selada, dan jagung manis) yang ditanamnya dengan bantuan Pu-Ci dan U-Ci.
“Aku juga membuka divisi penyamakan kulit kelinci dan menjadikan UR 2 Farm sebagai agrowisata, dengan menyediakan penginapan, resto, dan segala hal yang berbasis kelinci,” ungkap kelahiran Yogyakarta, 30 November 1967 ini.
Untuk itu, Nuning memberi pelatihan kepada siapa pun yang ingin menimba ilmu tentang beternak kelinci. Ia juga berbagi dengan masyarakat di sekitar peternakannya, dengan menjadikan mereka sebagai plasmanya.
Saat ini, sudah terbentuk kurang lebih 15 plasma. Dari mereka, setiap bulannya dapat “dipanen” 150 ekor kelinci. “Dari usaha ini, rata-rata per bulan aku membukukan omset lebih dari Rp50 juta,” imbuh Nuning, yang membangun usaha ini dengan modal awal Rp2 juta.
Pada dasarnya, mantan karyawati sebuah bank terkemuka ini menambahkan, beternak kelinci merupakan usaha yang murah sekali atau kecil modalnya, tapi sangat menguntungkan dan lebih praktis. “Prospektif sekali,” pungkasnya.
Catatan
Untuk orang-orang yang ingin belajar menternakkan kelinci, Nuning menyarankan untuk menggunakan kelinci pedaging lokal yang notabene harganya murah. Sehingga, jika terjadi kematian tidak akan terlalu merugi.
Sementara untuk indukannya, carilah indukan yang sudah siap kawin atau bahkan betinanya sudah bunting. Sehingga, hanya dibutuhkan waktu sebulan untuk menghasilkan anakan.
Lalu, anakan-anakan tersebut dirawat hingga menjadi indukan berikutnya. “Bila hal ini sudah mampu dilakukan, berarti yang bersangkutan sudah bisa menternakkan kelinci. Dengan demikian, jika dia akan membeli kelinci lagi tidak masalah,” katanya.
Di luar itu, ia menyarankan:
- Untuk tempat makan, bisa dimulai dari bambu yang dibelah. Sedangkan untuk tempat minumnya, dapat digunakan botol air mineral yang dipotong bagian atasnya.
- Tidak ada biaya produksi. Karena, untuk pakannya dapat menggunakan limbah dapur dan tidak perlu tenaga kerja.
- Hasil penjualannya dapat digunakan untuk membeli indukan baru.
- Saat anakan baru berumur tiga minggu, indukan sudah dapat dikawinkan lagi.
- Rawat baik-baik dan jaga ruangannya selalu bersih, serta selalu antisipasi dengan kondisi cuaca.
- Jangan pernah merasa jijik!