Home / Inovasi / Racikan Wine dari Buah Lokal

Racikan Wine dari Buah Lokal

Fruit Wine ala Baliwein

 

Wine dari anggur sudah lumrah dikonsumsi. Tapi, bagaimana dengan wine yang terbuat dari buah lokal, seperti jambu mete, salak, atau sirsak? Ternyata, selain unik rasanya, juga menyehatkan jantung. Sehingga, turis asing pun kepincut dengan fruit wine ini

 

[su_pullquote]Sama halnya dengan wine, fruit wine juga memiliki khasiat menyehatkan fungsi jantung[/su_pullquote]

e-preneur.co. Mendengar kata wine, maka yang terlintas dalam benak pastilah minuman keras. Memang, wine termasuk minuman keras dengan kadar alkohol sekitar 8%−15%. Bahkan, juga ada yang mengandung alkohol lebih dari 15%.

Sebab itu, di Indonesia, minuman ini hanya dikosumsi kalangan tertentu. Berbeda dengan negara-negara Barat, yang mayoritas penduduknya biasa mengonsumsi wine seperti kita minum minuman bersoda.

Padahal, walau berkadar alkohol tinggi, wine sebenarnya memiliki khasiat sebagai penurun kolesterol darah, mengurangi berat badan, penangkal kanker, dan membuat jantung sehat. Asalkan, dikonsumsi dengan benar. Dalam arti, tidak terlalu banyak hingga justru mabuk.

Selama ini, kita mengetahui jika wine terbuat dari anggur yang notabene banyak mengandung fenol atau flavonoid yang merupakan antioksidan yang sangat kuat. Sehingga, mempunyai efek kardioprotektif (melindungi jantung dari serangan radikal bebas, red).

Lalu, bagaimana khasiat wine yang terbuat dari buah selain anggur?

Buah yang paling umum dijadikan wine selain anggur yakni plum, elderberry, blackcurrant, dan apel. Wine semacam ini dikenal dengan sebutan fruit wine atau country wine.

Lantaran memiliki khasiat yang hampir sama yakni menyehatkan fungsi jantung, maka banyak orang mulai mengonsumsinya. Termasuk, di Indonesia.

Namun, meski buah-buahan tersebut sulit dijumpai di Indonesia, bukan masalah bagi Gek Ayu Rusmini. Ia mengganti buah-buahan impor tersebut dengan buah-buahan lokal.

“Saya terinspirasi ketika berkunjung ke Jerman. Di sana, selain anggur, ada buah lain yang bisa dibuat wine. Saya pun tertantang untuk mencobanya dengan buah lokal,” kisah Rusmini, sapaan akrabnya.

Hasilnya, ia sukses menciptakan wine dari sirsak, salak, nanas, jambu mete, dan strawberry. Bahkan, ia juga mampu membuat wine dari tanaman rimpang beraroma tajam yang biasa dipakai untuk bumbu dapur atau obat yakni jahe. “Semua bahan tersebut, telah melewati eksperimen yang cukup panjang sebelum akhirnya layak dikonsumsi,” lanjutnya.

Semua proses pembuatan fruit wine sama dengan wine. Semua buah tersebut memakai air yang berasal dari sari buahnya, kecuali untuk jahe. Rusmini mesti menambahkan air, lantaran kadar air dalam jahe sedikit sekali. Tapi, ia menjamin tidak akan mengubah rasanya.

“Kalau jahe setelah dihancurkan dan diperas kan airnya sedikit, jadi harus ditambah air supaya takarannya pas,” jelasnya.

Sementara perbedaannya, terletak pada masa fermentasi masing-masing buah. Untuk wine, yang juga ia produksi, memakan waktu fermentasi sekitar 5−6 minggu, sedangkan untuk fruit wine membutuhkan waktu minimal 10 minggu.

Setelah masa fermentasi usai, baik wine maupun fruit wine mesti disimpan minimal satu tahun agar lebih nikmat. Rusmini menyebutnya proses aging.

Menurutnya, fruit wine buatannya banyak diincar turis asing yang penasaran dengan rasa dan manfaatnya. Kendati, fruit wine ini masih tergolong “muda”.

“Yang paling laku yakni fruit wine jambu mete dan jahe. Bahkan, masih dalam proses fermentasi saja sudah diorder,” ucapnya.

Namun, tidak berarti usaha ini berjalan tanpa kendala. Pada satu sisi, karena home industry-nya masih kecil, maka ia belum mampu berproduksi dalam jumlah banyak. “Di samping itu, bahan bakunya juga terbatas.  Mengingat, buah-buahan lokal tersebut bersifat musiman,” paparnya.

Untuk mengatasinya, ketika musim buah tiba, Rusmini memesan berton-ton buah langsung dari petaninya untuk persediaan. Gudang penyimpanan miliknya yang berada di bawah tanah cukup aman untuk menyimpan buah, tanpa menjadikannya cepat busuk. Sehingga, ia bisa memproduksi fruit wine per dua hari.

Dari satu ton buah segar akan dihasilkan kurang lebih 900 liter fruit wine. “Penyusutannya kurang lebih 10%, berlaku untuk semua jenis buah,” ujarnya. Selanjutnya, ia mengemasnya dalam ukuran 750 ml dan memberinya nama Baliwein.

Untuk membelinya, konsumen dapat datang langsung ke rumah sekaligus home industry dan gudang penyimpanan Baliwein, yang berdiri di atas lahan seluas 2600 m² di Jalan Raya Munggu, Tabanan, Bali.  “Pemasarannya selain di rumah saya, juga di outlet-outlet wine yang terletak di Sanur, Ubud, dan Seminyak,” tambahnya.

Kendala berikutnya yang harus ia hadapi yaitu pemasaran yang tersendat. Mengingat, ia menjual minuman keras. Meski, fruit wine buatannya tergolong unik dan banyak yang menyukai.

“Tetap saja sulit dipasarkan di Indonesia. Sebab, minuman keras identik dengan minuman yang diharamkan. Sebab itu, saya mengandalkan penjualan di Bali dan turis asing yang akan membawanya ke luar negeri,” pungkas Rusmini, yang tetap optimis, karena sudah mengantongi sertifikat dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dan pajak minuman keras.

 

Check Also

Cucian Bersih, Ekosistem Terjaga

Deterjen Minim Busa Isu ramah lingkungan membuat para pelaku usaha terus menggali ide untuk menciptakan …