Home / Agro Bisnis / Marjinal Tapi Bahan Baku Utama Bio-Etanol

Marjinal Tapi Bahan Baku Utama Bio-Etanol

Singkong

 

Dipandang sebelah mata, karena dianggap tanaman marjinal. Ditanam ala kadarnya, sebab para petaninya berpenghasilan rendah. Itulah, singkong. Padahal, kebutuhan negara akan singkong sangat besar, baik untuk bahan pangan, industri farmasi, kimia, bahan bangunan, kertas, maupun biofuel

 

[su_pullquote]Kebutuhan akan singkong itu sebenarnya sangat besar, baik untuk bahan pangan, industri farmasi, kimia, bahan bangunan, kertas, maupun industri biofuel (baca: bio-etanol, red.). Bahkan, turunan-turunannya pun masih berguna, misalnya untuk pakan ternak, saus, dan sebagainya [/su_pullquote]

e-preneur.co. Selama ini, kita mengenal ubi kayu sebagai tanaman yang mudah didapat bibitnya. Di samping itu, juga gampang dibudidayakan. Mengingat, dapat ditanam di lahan yang kurang subur sekali pun, dengan risiko gagal panen 5%, dan tidak memiliki banyak hama.

Di sisi lain, dibandingkan tanaman pangan pada umumnya yang rata-rata sudah dapat dipanen pada umur empat bulan, sumber energi yang kaya karbohidrat tapi miskin protein ini, umur panennya lebih panjang yaitu 7−12 bulan. Selain itu, harga jualnya terbilang rendah dan dianggap sebagai tanaman yang menguruskan tanah. Karena, rakus mengambil unsur hara. Padahal, kondisi ini, sebenarnya sangat tergantung kepada kesuburan tanah, produktivitas, dan pemupukan.

Sisi baik dan buruk yang dimiliki umbi atau akar pohon yang bernama lain singkong ini, menjadikannya dipandang sebelah mata oleh banyak pihak. Bahkan, oleh petaninya.

Saking disepelekannya, tanaman yang dianggap tanaman marjinal lantaran biasanya tumbuh di lahan marjinal ini, secara nasional pernah hanya mampu berproduksi 20,05 juta ton dengan luas lahan 1,24 juta ha. Ini berarti, tingkat produktivitasnya hanya 16,2 ton/ha. Sementara produksi singkong di Thailand, sebanyak 21,44 juta ton yang didapat dari lahan seluas 1,06 juta ha atau dengan tingkat produktivitas 20,23 ton/ha.

“Tingkat produksi tersebut memang terbilang rendah. Karena, sebenarnya masih bisa ditingkatkan menjadi 25−40 juta ton,” kata Zonda Sani, yang kala itu menjabat Kepala Sub Direktorat Ubi Kayu, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Departemen Pertanian (sekarang: Kementerian Pertanian, red.).

Hal itu terjadi, sebab, petani menanam ketela pohon secara apa adanya. Dalam arti, begitu ditanam langsung ditinggalkan begitu saja. Pemupukan pun dilakukan sekadarnya. Misalnya, menggunakan sisa pupuk tanaman jagung yang ditanam sebelumnya, di lahan yang sama.

Di sisi lain, situasi ini harus dimaklumi. Mengingat, para petani ubi kayu pada umumnya berpenghasilan rendah. Sehingga, tidak mampu membeli pupuk yang harganya dari waktu ke waktu semakin mahal. “Jadi, ya, pintar-pintarnya mereka melakukan pemupukan,” lanjutnya.

Memang tidak pernah diketahui, berapa sebenarnya kebutuhan negara ini akan ubi kayu. Setiap tahun, para petani ubi kayu hanya diarahkan untuk memenuhi target yang telah ditetapkan. Misalnya, ditargetkan 20,6 juta ton. Tapi, baru berhasil diproduksi sebanyak 19,5 juta ton.

“Jadi, ya, memang harus terus ditingkatkan. Mengingat, kebutuhan akan singkong itu sebenarnya sangat besar, baik untuk bahan pangan, industri farmasi, kimia, bahan bangunan, kertas, maupun yang sedang marak saat ini yaitu industri biofuel (baca: bio-etanol, red.). Bahkan, turunan-turunannya pun masih berguna, misalnya untuk pakan ternak, saus, dan sebagainya,” jelasnya.

Berkaitan dengan bio-etanol, energi alternatif pengganti bahan bakar minyak untuk kendaraan ini merupakan etanol atau bahan alkohol hasil proses fermentasi singkong. Studi terhadap bio-etanol di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1983, bertepatan dengan produksi singkong di Lampung yang ketika itu melimpah ruah.

“Brasil menggunakan tebu sebagai bahan baku etanol, sedangkan Amerika Serikat memakai jagung. Indonesia masih menggunakan campuran antara singkong (8%), pepes tebu (1%), dan sorgum (1%). Tapi, dalam perkembangannya, hanya menggunakan singkong,” tambahnya.

Nah, ia melanjutkan, kalau produksi singkong bisa mencapai target saat itu yaitu 25 juta ton/ha dengan harga per kilo Rp350,-, tentu terjadi peningkatan pendapatan yang sangat besar bagi petani. Meski, sudah dikurangi biaya produksi,” paparnya. Di sisi lain, pihak industri dapat terus beroperasi. Karena, bahan bakunya terpenuhi sepanjang musim.

Lalu, ubi kayu yang bagaimana yang bagus untuk bio-etanol? “Pada dasarnya, ubi kayu mempunyai banyak varietas, tapi baru 10 yang berhasil diteliti di Indonesia. Nantinya, akan dilepaskan lagi beberapa varietas sehubungan dengan industri bio-etanol,” ucapnya.

Berbeda dengan yang dikonsumsi manusia, ia menambahkan, singkong untuk bio-etanol harus memiliki kadar pati yang tinggi yaitu 25%−45%. Dan, biasanya itu ubi kayu yang berasa pahit (melalui proses pencucian yang benar, ketela pohon ini pun dapat dimakan manusia, red.),” jelasnya.

Sekadar informasi, menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi cq Balai Besar Teknologi Pati Lampung Maret 2006, dari 6,5 kg ubi kayu segar dapat dihasilkan 1 liter etanol berkadar 95%, dengan harga jual (saat itu) Rp3.500,-/liter. Bila diperhitungkan dengan ongkos tenaga kerja, transpor, dan sebagainya maka harga jualnya akan menjadi Rp4.350,-/liter.

“Singkong sebagai bahan baku utama bio-etanol, menandai kebangkitan ketiga itu telah datang, setelah kebangkitan pertama di mana singkong diubah menjadi gaplek dalam kaitannya dengan sumber bahan pangan alternatif dan kebangkitan kedua atau ketika singkong diolah menjadi tapioka,” pungkasnya. Nah, tidakkah Anda berminat pula membudidayakan lumbung pangan alternatif ini?

Check Also

Menyehatkan Konsumennya, Menguntungkan Petaninya

Beras Hitam Organik Meski buruk rupa, tapi kaya manfaat kesehatan. Tidak mengherankan, bila peminat Beras …