Beras Organik
Karena alasan-alasan tertentu, sebagian dari penduduk Indonesia tidak bisa atau bahkan tidak boleh mengonsumsi nasi (baca: Beras Putih, red.). Sehingga, harus dicari penggantinya. Dan, alam pun dengan baik hati memunculkan Beras Merah dan Beras Hitam yang mempunyai lebih banyak manfaat daripada Beras Putih. Apalagi, yang ditanam dengan sistem organik
[su_pullquote]Untuk penggunaan pestisidanya, dari kimiawi diganti dengan sejenis tanaman yang dapat mengusir tikus dan belalang. Sementara pupuk yang digunakan berupa kompos dan pupuk kandang[/su_pullquote]
e-preneur.co. Seperti kita ketahui, makanan pokok orang Indonesia, khususnya, yaitu nasi. Selama ini, kita mengetahui bahwa nasi berasal beras dan beras selalu identik dengan Beras Putih.
Tapi, seiring waktu berjalan, muncullah Beras Merah. Pada awalnya, sebagian anggota masyarakat berpikir bahwa Beras Merah itu salah satu makanan burung. Apalagi, beras ini tidak enak rasanya, bahkan jauh lebih tidak enak ketimbang beras jatah.
Namun, ternyata, khasiatnya berbanding terbalik dengan rasanya. Karena, Beras Merah mengandung betakarotin tinggi dan aman bagi para penderita diabetes.
Nasib Beras Hitam, yang menyusul kehadiran Beras Merah, malah lebih menyedihkan lagi. Mengingat, masyarakat mengetahui keberadaannya pun tidak. Maklum, mereka lebih mengenal Ketan Hitam ketimbang Beras Hitam.
Meski begitu, beras yang buruk rupa itu sepulen Beras (Putih) Pandanwangi. Sebab itu, dilihat dari sejarahnya, beras ini hanya boleh dikonsumsi para raja, kaisar, dan pemuka agama. Sementara, dilihat dari khasiatnya, Beras Hitam baik bagi penderita kanker.
Sayang, kalau boleh dibilang begitu, beras-beras tersebut selama ini ditanam dengan menggunakan pestisida dan pupuk kimia. Kondisi ini, membuat sebuah komunitas kecil di sebuah desa di Semarang menggerakkan para petani agar bertanam padi secara organik.
Pada tahun 2004, komunitas kecil itu berusaha mengedukasi para petani akan dampak dan bahayanya penggunaan pestisida kimia pada hasil akhir/panen, baik padi maupun lahannya.
Meski tidak mudah dilakukan, komunitas kecil tersebut terus-menerus melakukan pendekatan langsung kepada para petani, dengan memberikan pengetahuan pentingnya memelihara alam yang sudah Tuhan berikan. Di sisi lain, para petani melihat sendiri dampak dari tanah yang tidak terpelihara.
Selain itu, komunitas kecil itu juga mengajarkan proses organik, bukan hanya tanahnya yang dikembalikan seperti semula (diremajakan), melainkan juga sistem pengairannya dengan membuat penyaringan di mana hal ini setidaknya meminimalkan kadar-kadar kimia dalam air. Sehingga, pertanian organik tersebut bisa lebih maksimal.
Untuk penggunaan pestisidanya, dari kimiawi diganti dengan sejenis tanaman yang dapat mengusir tikus dan belalang. Sementara pupuk yang digunakan berupa kompos dan pupuk kandang. Imbasnya lebih lanjut, di sana banyak peternakan sapi.
Pada akhirnya, komunitas kecil itu berkembang menjadi sebuah paguyuban petani seluas hampir satu desa. Paguyuban Petani Albarokah, demikian namanya, hingga tahun 2012, juga berhasil mengintensifkan lahan mereka di mana 1 ha menghasilkan panen sekitar 7 ton padi per lima bulan.
Untuk jenis berasnya, Albarokah membudidayakan Beras Putih (jenis Pandanwangi dan Mentik Susu), Beras Merah, dan Beras Hitam. Beras-beras tersebut dibanderol dengan harga yang lebih mahal ketimbang beras non organik.
Dampaknya, pemasarannya sangat terpengaruh. Untuk itu, konsumen yang disasar masih kalangan menengah ke atas.
“Harga yang mahal tersebut merupakan imbas dari proses pasca produksi yang mahal dan permintaan yang masih sedikit. Tapi, nanti, ketika produk-produk organik mulai digemari, harga bisa disesuaikan. Apalagi, kami hampir tidak mengeluarkan biaya produksi sama sekali. Mengingat, baik pestisida maupun pupuknya berasal dari alam,” jelas Fadli Reza, Distributor Beras Organik Albarokah untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Di samping itu, Albarokah dikemas dalam ukuran kecil yaitu 2 kg‒5 kg agar masyarakat mudah membelinya dan merasakan dulu manfaatnya. “Kami juga melakukan inovasi dengan mencampur Beras Merah dengan Beras Putih Pandanwangi. Dan, ternyata, masyarakat menanggapinya dengan baik,” lanjut sarjana ilmu politik dari Universitas Sudirman ini.
Namun, kendati pemasaran masih agak terkendala, Albarokah tidak ingin berada di berbagai supermarket, melainkan lebih ingin berada di toko-toko beras, toko-toko kelontong, atau berbagai koperasi di Jakarta Selatan (basis distribusi mereka di Jakarta, red.).
“Kami ingin mensejajarkan terlebih dulu beras kami dengan beras-beras yang sudah dikenal pasar. Dari situ, kami juga sekaligus dapat mengedukasi masyarakat,” ungkap kelahiran Jakarta, 20 April 1986 ini. Sementara ke depannya, mereka berencana memperluas/membuka pertanian semacam ini di tempat lain.