Nabhika
Katun merupakan salah satu bahan yang sering dijadikan pernak-pernik kerajinan tangan. Tapi, di tangan Fenny, pernak-pernik berbahan kantun tidak hanya sekali pakai, melainkan bisa dipakai sampai kapan pun. Selain itu, dengan jahitan ala orang Jepang dan warna-warna cerah, produknya yang dilabeli Nabhika menjadi berbeda dengan produk contekannya
[su_pullquote]Nabhika menggunakan tipe jahitan ala orang-orang Jepang dan warna-warnanya cerah[/su_pullquote]
e-preneur.co. Orang-orang yang kreatif selalu ingin menciptakan suatu benda baru, yang lain daripada yang lain dari berbagai bahan yang ada di sekitar mereka. Termasuk, dari limbah botol, kantong plastik, maupun bahan pakaian.
Seperti, yang dilakukan Fenny Vateeva. Lantaran tidak tahan melihat sisa-sisa kain katun (baca: katun, red.) yang ada di rumahnya, ia terpicu untuk mengubahnya menjadi berbagai produk sesuai dengan ide-ide yang keluar dari benaknya.
“Ibu saya seorang penjahit baju. Jadi, kalau ada sisa-sisa bahan, saya langsung menggunting-guntingnya untuk dibuat berbagai kreasi, yang nantinya menghasilkan uang,” kisah Fenny.
Semakin dewasa, ia semakin menggemari berbagai bahan pakaian itu. Hingga, menurutnya, sudah berada pada taraf kecanduan. Sebab, setiap melihat bahan-bahan tersebut, terutama katun, dipastikan ia akan membelinya. Meski, ia tidak tahu untuk apa membelinya.
Di sisi lain, sarjana ekonomi dari Universitas Trisakti, Jakarta, ini tidak bisa menjahit secara profesional. Bahkan, membuat pola pun ia tidak bisa.
Kemampuan menjahit yang ia miliki, berasal dari belajar secara otodidak pada sang Ibu dan mencontoh baju-baju bermerek. “Saya membeli baju anak-anak yang bermerek. Lantas saya bongkar, untuk mengetahui bagaimana mereka membuat polanya,” ungkapnya.
Dalam perjalanannya, pada tahun 1996, Fenny merambah pembuatan pernak-pernik perlengkapan dari katun untuk Ibu dan anak. Seperti, suvenir untuk pesta ulang tahun dan kawinan (celemek, tas untuk anak, tempat tisu, sarung untuk pegangan kulkas, dan sebagainya).
Namun, berbeda dengan suvenir yang sekali pakai langsung buang, suvenir katun buatan Fenny yang dikombinasikan dengan warna-warna cerah itu bisa dipakai sampai kapan pun. Baginya, tidak boleh ada secenti pun bahan yang dibuang begitu saja.
Selanjutnya, ia memberanikan diri membuka stan dengan sebuah gerobak kecil di sebuah mal, dengan biaya sewa yang bisa dikatakan mahal. Tapi, ternyata omset yang diperoleh bisa menutupi biaya sewa tempat tersebut.
Padahal, harga produk yang diberi “merek” Nabhika itu terbilang terjangkau. “Biaya sewa tempat Rp6 juta/bulan, tapi omset saya bisa mencapai Rp10 juta–Rp20 juta per bulan,” katanya, suatu ketika.
Kelahiran Bandung, 13 Mei 1965 ini menjual produknya hanya di mal itu, tidak secara online, dan tidak mempunyai toko. “Saya tidak mau membuat usaha saya terlalu besar. Karena, nantinya, pasti banyak yang mencontek. Sehingga, tidak eksklusif lagi,” lanjut perempuan, yang membangun usahanya dengan modal awal Rp135 ribu dan dibantu seorang karyawan yang juga tetangganya.
Ya, produk buatannya memang banyak yang mencontek. “Tapi, saya memberi jaminan pada kualitas dan jahitannya. Saya berkiblat pada jahitan orang Jepang. Sebab, mereka sangat rapi dan halus pengerjaannya. Selain itu, produk saya selalu menggunakan warna-warna cerah,” tegas Fenny, yang telah mempunyai pembeli dari Jambi, Jember, Bali, dan Singapura. Karena, ia rajin mengikuti berbagai pameran produk inovatif, seperti InaCraft.
Rencana ke depan? “Saya ingin menambah pegawai. Sebab, pesanan semakin banyak. Sebenarnya, ini pekerjaan yang mudah, tapi mengingat handmade, maka membutuhkan keseriusan dan ketelitian dalam pembuatannya,” pungkas Fenny, yang kala itu telah memiliki tiga karyawan.