Home / Inovasi / Klappertaart Lezat yang Melenceng dari Pakem

Klappertaart Lezat yang Melenceng dari Pakem

De’Klappie

 

Tidak bisa memasak, tapi ingin menerjuni bisnis makanan? Mengapa tidak? Setidaknya, hal itu sudah dibuktikan oleh Dian. Bukan cuma itu, bahkan ia mampu memodifikasi klappertaart sesuai dengan seleranya dan tetap digemari konsumennya. Hingga, dalam perkembangannya, diarahkan menjadi oleh-oleh khas Jakarta

 

[su_pullquote]Lantaran tidak seperti klappertaart yang selama ini dikenal konsumen, maka dinamai klappie, sementara nama usahanya De’Klappie[/su_pullquote]

e-preneur.co. Berbisnis makanan tapi tidak bisa memasak, mungkinkah? Mungkin! Hal itu, sudah dibuktikan Dian Kusumaning Tyas.

Kendati dilahirkan oleh seorang Ibu yang jago memasak, Dian sama sekali tidak bisa memasak dan anti dengan hal-hal yang berhubungan dengan dapur. Kalau pun ia harus masuk ke dapur, sebatas membantu sang Ibu membuat kue. Itu pun yang tidak berhubungan dengan mixer.

Hingga, suatu ketika, ia mudik dari Pekanbaru ke Surabaya. Kedatangannya ke rumah orang tuanya, terdengar oleh teman-temannya. Lalu, mereka mengatakan akan mengunjunginya.

“Mereka hanya tahu, jika di rumah itu selalu tersedia makanan enak. Karena, Ibu saya selalu memanjakan mereka dengan membuatkan makanan-makanan enak. Tapi, saat itu, Ibu saya sedang tidak ada di rumah. Jadi, kebingunganlah saya,” kisah Dian.

Lantas, ia membuka-buka buku resep Ibunya dan yang terbuka resep untuk membuat klappertaart. “Saya lihat, untuk membuatnya tidak memerlukan mixer. Hal ini, menenangkan saya. Sebab, kalau resep itu menggunakan mixer, hasilnya pasti bantat. Di sisi lain, kebetulan, hampir semua bahan yang dibutuhkan ada di dalam kulkas. Setelah saya membuatnya, ternyata jadi, dan teman-teman suka,” lanjutnya.

Ketika datang lagi, mereka minta dibuatkan lagi kue itu. Awalnya, Dian menolak. Tapi, lantaran didesak terus, bahkan mereka rela membawa bahan-bahannya, akhirnya, jadilah delapan loyang.

Ternyata, salah satu teman ada yang iseng. Ia memotret klappertaart itu, lalu meng-upload ke facebook dan men-share komen-komen tentang klappertaartnya. Kemudian, si teman memintanya agar membuat lagi kue itu dan akan membantu mempromosikannya melalui facebook. Sekali lagi, Dian menolak.

Suatu ketika, dalam suatu pertemuan komunitas bisnis terbesar di negeri ini di mana ia bergabung tapi jarang sekali mengikuti kegiatan-kegiatannya, Dian yang sudah hijrah ke Jakarta ditanya oleh para seniornya tentang apa usahanya. Dan, ia hanya menjawab macam-macam alias Palugada (= apa lu mau, gua ada, red.).

“Seorang senior yang lebih perhatian meminta saya untuk mengingat-ingat apa yang saya sukai. Lantas, saya ceritakan tentang ‘kasus’ klappertaart itu. Ia meminta saya mencoba usaha itu. Tapi saya menolak lagi, karena tidak percaya diri,” tuturnya.

Namun, ia melanjutkan, karena dalam suatu pelatihan, mereka beramai-ramai “membantu”, akhirnya ia terpicu untuk membuat usaha ini. Begitu sudah bertekad menjalankan usaha ini, seorang teman memberi tahu tentang berbagai pesanan dari bank-bank. “Pesanan itu saya antar sendiri,” tambahnya.

Seiring berjalannya waktu, sarjana teknik sipil dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya ini berpikir kok klappertaartnya tidak ada cirikhasnya. “Suatu hari, saya berpikir bahwa saya tidak menyukai putih telur dalam resep ini, yang akhirnya saya buang. Saya juga tidak menggunakan rum dan mengurangi rasa manisnya. Selain itu, saya juga mengubah komposisinya, misalnya mengganti tepungnya dengan tepung singkong dan mengganti gulanya dari gula tebu menjadi gula (rumput) stevia,” ujarnya.

Lantaran tidak seperti klappertaart yang selama ini dikenal konsumen, Dian menyebutnya klappie dan menamai usahanya De’Klappie. Tapi, ternyata, konsumen menyukainya. Dengan itu, Dian pun menetapkan diri menjalankan usaha ini dan meninggalkan bisnis palugadanya. Ia juga menegaskan bahwa ini klappertaart halal, karena tidak menggunakan rum.

De’Klappie yang dibangun pada tahun 2009 dengan modal kurang dari Rp100 ribu itu mempunyai lima rasa yaitu original, cokelat, keju, pandan, dan duren. Untuk ukurannya, selain mini cup, juga ada ukuran sedang (17 cm x 8 cm) dan ukuran besar (20 cm x 20 cm). Untuk memesannya, sebaiknya dilakukan H-2. Selanjutnya, pesanan akan diantarkan tanpa ongkos kirim.

Pada April 2012, Dian me-rebranding De’Klappie sebagai oleh-oleh khas Jakarta. Sebab, sepanjang tahun 2010–2012, De’Klappie lebih banyak dipesan untuk oleh-oleh. Untuk itu, De’Klappie sudah melayang ke Qatar, Birmingham, Australia, Malaysia, Singapura, dan New York.

Kelahiran Denpasar, 4 September 1976 ini juga merasa bersyukur. Sebab, sang suami selalu mendukung. “Dalam bisnis ini, suami yang mengetahui saya yang tidak bisa apa-apa membantu saya meningkatkan diri, membuatkan Standard Operating Procedure, berhitung berapa harga jual produk saya, dan sebagainya. Jadi, suami saya itu penasihat dan konsultan usaha ini,” pungkasnya.

 

Check Also

Cucian Bersih, Ekosistem Terjaga

Deterjen Minim Busa Isu ramah lingkungan membuat para pelaku usaha terus menggali ide untuk menciptakan …