Undur-undur
Undur-undur, selama ini, hanya dipandang sebelah mata. Padahal, sejak dulu, sudah diketahui bahwa hewan ini dapat menurunkan kadar gula dalam darah. Selain itu, alam juga menyediakannya dalam jumlah banyak dan gratis
[su_pullquote]Alamlah yang menyediakan bibit undur-undur dan membudidayakannya, sementara manusia tinggal memanennya[/su_pullquote]
e-preneur.co. Masih ingat fenomena Ponari dan batu “ajaibnya”, serta para “penirunya”? Dari sini, dipetik suatu pelajaran bahwa kepercayaan sebagian anggota masyarakat terhadap pengobatan moderen, semakin lama semakin berkurang. Sebaliknya, mereka semakin lama semakin mempercayai pengobatan yang dianggap kurang atau bahkan sama sekali tidak masuk akal, yang sering disebut pengobatan alternatif.
Pengobatan alternatif menggunakan banyak media, yang sebagian di antaranya berasal dari alam. Salah satunya, undur-undur.
Binatang super kecil (berukuran kurang dari 2 cm, red.) yang biasanya dijumpai di sekitar rumah berhalaman pasir ini, dipercaya dapat menyembuhkan diabetes dan beberapa penyakit lain seperti stroke, kolesterol, asam urat, dan lain-lain, hanya dengan memakannya hidup-hidup. Di samping itu, juga tidak berefek samping. Karena, 100% natural. Bahkan, pengobatan Cina, sampai sekarang masih menggunakannya.
Berdasarkan penelitian bagian farmasi Universitas Gajah Mada (Kajian Potensi Undur-undur Darat, 2006, red.), undur-undur mengandung zat sulfonylurea. Kerja sulfonylurea pada undur-undur yakni melancarkan kerja pankreas dalam memproduksi insulin.
Dengan kata lain, hewan ini paling efektif untuk menurunkan kadar gula dalam darah. Tapi, berapa persen kesembuhan yang dapat diperoleh, sampai saat ini belum diketahui. Karena, memang belum ada penelitian tentang hal ini.
“Kebanyakan konsumen kami hanya mengatakan bahwa kondisi tubuh mereka lebih sehat, setelah mengonsumsi undur-undur,” jelas Okman, pengumpul dan pemasar dalam usaha undur-undur.
Undur-undur (Latin: Myrmeleon Sp, red.) ini, Okman melanjutkan, sebaiknya dikonsumsi dalam kondisi hidup, baik yang ditelan langsung maupun yang dalam bentuk kapsul. Satu kapsul, biasanya berisi tiga bakal serangga (hidup) yang dalam Bahasa Inggris disebut Lion Ant atau Di Gu Niu dalam Bahasa Cina ini.
“Dalam kondisi hidup, senyawa aktifnya masih utuh. Berbeda dengan yang dalam bentuk sudah dikeringkan atau ekstrak, lalu dimasukkan ke dalam kapsul,” katanya.
Dengan alasan itulah, usaha yang berlokasi di Yogyakarta ini menjual atau mengirimnya dalam keadaan hidup. Berbeda dengan pihak lain, yang menjual undur-undur dalam bentuk kapsul.
“Undur-undur dalam bentuk kapsul biasanya berisi undur-undur yang sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk. Sebab, jika masih dalam keadaan hidup biasanya binatang ini akan segera mati dan membusuk. Hal itu terjadi, karena hewan ini mudah mati. Apalagi, jika cara mengemasnya salah atau mereka dicampur menjadi satu,” ungkapnya.
Sekadar informasi, undur-undur memiliki sifat kanibalisme tinggi. Sehingga, tingkat kematiannya mencapai 50% per hari, kalau mereka dicampur satu sama lain.
Untuk menghindari hal itu, dalam pengemasannya, Okman menggunakan wadah yang bisa menampung undur-undur secara soliter. Selain itu, ia juga melengkapinya dengan pakan mereka.
“Membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu dua jam/paket, hanya untuk membungkus undur-undur agar mampu bertahan hidup sampai sebulan,” jelas pria, yang membangun usahanya ini cuma dengan modal sekitar Rp20 ribu yang dibelanjakan untuk membeli kotak kemasan, wadah pemeliharaan, pakan, dan biaya pemeliharaan.
Di samping itu, ia juga memberi garansi di mana bila sesampainya di tangan pemesan ternyata ada undur-undur yang mati, akan segera diganti. Dan, untuk pemesanan di luar Pulau Jawa, ditambahkan satu garansi lagi yaitu untuk setiap kelipatan dari biaya pengiriman akan diganti dengan seekor undur-undur. Sementara harga yang dibanderol untu per paketnya, sudah termasuk wadah pemeliharaan, kapsul kosong, dan biaya pengiriman untuk Pulau Jawa.
Namun, apa sebenarnya undur-undur? “Undur-undur adalah sejenis larva, yang setelah dewasa bermetaformosa menjadi Capung Jarum (Jawa: Kinjeng Dom, red.),” jelas pria, yang telah memasarkan “produknya” ini ke Jawa (khususnya Jakarta, Surabaya, Bandung, Bogor, dan Semarang), Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali.
Untuk membudidayakan binatang holometabola (serangga yang mengalami metamorfosa sempurna, red.) ini, ia menambahkan, cukup ditaruh di dalam wadah pemeliharaan yang sudah disediakan dalam pengiriman. Dalam setiap wadah, diletakkan satu undur-undur. “Tidak perlu diberi pakan lagi. Sebab, pakan juga sudah disediakan dalam media pemeliharaan,” imbuh kelahiran Yogyakarta itu.
Untuk memanen atau memancing mereka agar keluar dari sarang, ada banyak cara yang dapat dilakukan. Pertama, menggunakan umpan serangga lain (biasanya semut rangrang) yang diikat tali. Kedua, ditiup dengan sedotan. Ketiga, disendok dan diayak dengan jaring/saringan teh. Keempat, didorong dengan lidi.
“Tidak pernah ada target berapa banyak yang harus dipanen setiap bulannya. Tergantung alam sajalah. Yang jelas, saya tidak pernah kekurangan stok,” ujar Okman, yang setiap hari memanen atau mengumpulkan undur-undur dari 30–40 lokasi yang berbeda, dengan hasil panenan bervariasi.
Sejauh ini, belum ada orang yang membudidayakan si pejalan mundur ini secara profesional. Walau, sebenarnya, status undur-undur ini sama dengan kepompong ulat sutra.
Dalam arti, ia dapat dipanen saat masih berbentuk larva dan belum berubah bentuk menjadi pupa (kepompong Capung Jarum, red.) atau bahkan menjadi imago (Capung Jarum Muda, red.). Dengan kata lain, hingga saat ini, alamlah yang menyediakan bibit dan membudidayakannya. Sementara manusia, tinggal memanennya.
Meski begitu, kini, terjadi persaingan ketat dalam usaha undur-undur ini. “Bagi mereka yang besar di desa, tinggal di desa, atau minimal pernah ke desa dan kebetulan menguasai pemasaran melalui internet akan mudah menjadi pesaing baru,” pungkasnya.