Pupuk Organik
Selama ini, para petani hanya mengetahui dan mengenal pupuk kimia. Meski, sebagian dari mereka juga mengetahui tentang kompos dan pupuk kandang. Padahal, ada juga lho pupuk baru, kalau boleh dibilang begitu, yang merupakan hasil percampuran antara kompos (dedaunan yang berjatuhan dan lalu membusuk secara alamiah) dengan pupuk kandang (kotoran cacing), yang disebut pupuk organik oleh pembuatnya yaitu Yayasan EcoBio Organic Indonesia
[su_pullquote]Dari hasil percobaan pada tanaman sayur, dengan pupuk yang selama ini digunakan, paling cepat petani bisa memanen 50–60 hari setelah bibit ditanam. Sementara dengan pupuk organik, masa panen bisa dipercepat menjadi 30–40 hari dan hasilnya pun lebih bagus. Imbasnya, penjualan lebih cepat dan harga jual lebih tinggi[/su_pullquote]
e-preneur.co. Tahukah Anda, jika obrolan ringan bisa membawa kita pada sebuah bisnis yang serius? Seperti, obrolan tentang pohon mangga yang tidak kunjung berbuah dengan seorang teman, ternyata membuat Harjanto bertemu dengan seorang dosen dari Universitas Padjadjaran, Bandung.
Dari pertemuan yang tidak disengaja itu, Harjanto menyimpulkan bahwa sang dosen mempunyai ilmu yang sangat banyak, yang bisa dikembangkan dan diterapkan di Indonesia. Karena, dari peternakan, perikanan, dan pertanian, serta pembuatan pupuk, sang dosen sangat menguasai.
Sekadar informasi, Bambang Sudiarto, demikian nama sang dosen, adalah orang pertama yang menemukan dan mengembangan peternakan cacing di Indonesia. Karena itu, lebih dikenal sebagai Bambang Cacing.
“Lalu, saya membeli 1 kg pupuk powder dan 1 lt pupuk cair dari Bambang Cacing. Setelah saya coba di rumah, ternyata hasilnya bagus sekali. Akhirnya, beberapa kali saya bertemu lagi dengannya untuk sekadar ngobrol hingga konsultasi,” kisah Harjanto.
Dari situ, ia mengetahui bahwa sampai sejauh itu belum ada yang mau menangkap hasil penelitian Bambang Cacing, yang sudah dimulai dari tahun 1983. “Akhirnya, bersama beberapa teman, saya membentuk yayasan yang bergerak di pelatihan organik yang kami namakan Eco Bio Organic (EBO) pada tahun 2011,” lanjutnya.
EBO adalah pelatihan mengenai organik tanam. Lebih tepatnya, pelatihan dan pengembangan integrated holistic farming yaitu suatu pertanian yang mempunyai mata rantai, yang tidak menghasilkan limbah (zero waste). Untuk bisa zero waste, digunakan sistem fermentasi. Jika tidak bisa diproses secara biologis ya dibakar di mana abunya digunakan sebagai pupuk. “Di luar negeri, pertanian mereka menerapkan apa yang sedang kami coba tularkan ini,” kata founder EBO ini.
Pada tiga tahun pertama keberadaannya, sistem yang coba diterapkan EBO masih tersendat. Menurutnya, hal ini disebabkan sulitnya mengubah mindset orang-orang Indonesia.
“Ketika kami mengadakan berbagai kunjungan, studi banding, atau penyuluhan ke SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan para petani di Subang, Puncak, dan Cianjur, ternyata hanya satu yang nyangkut. Tapi, saya mempunyai keyakinan yang sangat besar. Karena, saat itu, fuel masih disubsidi. Kalau pemerintah mencabut subsidi itu, maka yang terkena dampak paling parah adalah para petani. Mengingat, pabrik-pabrik pupuk tidak mendekati lokasi petani, jaraknya terbilang jauh,” tutur sarjana mesin dari Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, ini.
Untuk mengatasinya, ia melanjutkan, sebagai bangsa yang instan, tentu saja dengan mengimpor. Tapi, masalahnya yaitu apakah nilai jual hasil panen dengan harga pupuk impor itu sebanding atau tidak.
“Itu yang menjadi tantangan dan goal kami berenam, yang bercita-cita mempunyai EBO di sentra petani. Di sini, kami mengajarkan bagaimana caranya membuat pupuk organik dan bertanam organik. Singkat kata, EBO merupakan usaha yang bergerak dalam pembuatan, penyaluran, dan pelatihan pembuatan pupuk organik,” bebernya.
Dari hasil percobaan pada tanaman sayur, ia menambahkan, dengan pupuk yang selama ini digunakan, paling cepat petani bisa memanen 50–60 hari setelah bibit ditanam. Sementara dengan pupuk yang dibuat gurunya, demikian Harjanto memanggil sang dosen, masa panen bisa dipercepat menjadi 30–40 hari dan hasilnya pun lebih bagus.
Imbasnya, penjualan lebih cepat dan harga jual lebih tinggi. Contoh, sawi hijau. Yang dihasilkan secara konvensional saat itu dihargai Rp4 ribu–Rp7 ribu per kilogram. Sementara yang dihasilkan dari pupuk organik, dihargai Rp7 ribu per ¼ kg.
Namun, karena pupuk organik tersebut tidak menggunakan pestisida, maka dalam penanaman dibutuhkan green house. Sehingga, hama serangga tidak bisa masuk. Tapi, itu membutuhkan biaya mahal dan menjadi kendala.
Kendala lain, pemupukan tidak dapat dilakukan secara instan, berkaitan dengan bahan baku pupuk dan proses pembuatan pupuk. “Biasanya, kita ‘kan tinggal datang ke toko yang menjual peralatan pertanian, lalu membeli UREA. Kalau pupuk kami tidak bisa seperti itu. Di sisi lain, bila pupuk kimia ditempeli label ingredient, maka pupuk organik sampai sekarang belum ada yang dilabeli,” ujarnya.
Untuk memudahkan konsumen membeli, Harjanto mempatenkan merek. Menurutnya, ada yang unik dalam dunia pupuk di Indonesia. Setelah merek dipatenkan, kita harus mempunyai izin edar. Untuk mendapatkan izin ini, kita harus mengadakan demplot (uji coba lapangan) di minimal 3–5 tempat yang berbeda. Setelah itu, uji lab bekerja sama dengan perguruan tinggi tertentu. Akhirnya, izin edar pun keluar dan barulah pupuk itu boleh diperdagangkan di toko.
Mengingat Harjanto belum sampai ke tahap itu, maka penjualannya hanya dari orang ke orang dengan harga per kilogram lebih murah ketimbang pupuk NPK. Tapi, karena NPK yang beredar disubsidi pemerintah, maka harganya bisa lebih murah. “Saya belum menjualnya besar-besaran. Karena, belum menjadi produksi pribadi,” ungkap kelahiran Jakarta, 16 Juli 1963 ini.
Namun, jika berminat membeli, bisa menghubungi Harjanto melalui e-mail: harjanto.ebo@gmail.com atau mendatangi EBO di kawasan Gunung Sindur, Bogor. Harga yang ada plus ongkos kirim. “Ongkos kirim ini menjadi kendala lagi bagi petani, yang biasanya cukup membeli ke warung sebelah rumah,” katanya.
Pupuk organik yang terbuat dari dedaunan dan kotoran cacing yang difermentasi ini, terbagi menjadi pupuk organik padat (POP), pupuk organik cair (POC), dan suplemen makanan (cacing) untuk ternak dan ikan.
Ke depannya? “Saya ingin menularkan apa yang sudah dikembangkan guru saya selama puluhan tahun. Ini perlu, karena berhubungan dengan ketahanan pangan Indonesia. Yang kurang di kita yaitu bisnis yang terkotak-kotak di mana petani tidak boleh beternak. Itu salah. Sebab, kalau mereka boleh beternak, maka petani bisa memberi pupuk lebih kepada pertaniannya. Sehingga, ada sistem keterpaduan pertanian,” pungkasnya.