Home / Liputan Utama / Tetap Ada Sisi yang Menguntungkan

Tetap Ada Sisi yang Menguntungkan

Denny Dachlan

 

Menjadi pengusaha itu bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi, jika dilakukan saat usia sudah tidak muda lagi. Meski begitu, tetap ada sisi yang menguntungkan. Dan, Denny yang terjun ke dunia bisnis pada usia 46 tahun, sudah membuktikan hal itu

 

[su_pullquote]Tidak berarti terjun ke dunia bisnis di usia yang sudah tidak muda lagi, tidak ada untungnya[/su_pullquote]

e-preneur.co. Apakah Anda termasuk orang yang pernah berpindah-pindah perusahaan dan bidang kerja, demi mendapatkan posisi yang lebih baik dan gaji yang lebih banyak? Apakah untuk itu Anda harus berangkat kerja pagi-pagi buta dan pulang kerja larut malam? Apakah kemudian Anda menyadari bahwa setelah “berdarah-darah” seperti itu, ternyata penghasilan Anda cuma segitu-gitu saja?

Jika ya, Anda mempunyai banyak teman. Dan, salah satu dari mereka yaitu Denny Dachlan. Pria ini pernah bekerja di sembilan perusahaan, baik yang bergerak di bidang penerbangan, pertambangan, travel biro, telekomunikasi, asuransi, maupun perbankan dengan berbagai macam profesi/bidang kerja.

“Saya bisa menjalani semua pekerjaan itu. Terbukti, hingga mencapai kedudukan yang tinggi. Tapi, saya merasa itu bukan saya. Sehingga, saya pun stres. Akhirnya, saya sering bentrok dengan atasan-atasan saya. Puncaknya, berupa pengunduran diri dari pekerjaan saya yang terakhir yaitu sebagai kepala departemen untuk sales and development di sebuah bank swasta ternama, pada tahun 2012 lalu,” kisah Denny.

Namun, jauh sebelum resign, sarjana D-3 hotel management dari Akademi Pariwisata Trisakti, Jakarta, ini telah bergabung ke dalam PT Stifin Finger Print Indonesia. Denny merupakan franchisee perusahaan ini untuk wilayah Tangerang Selatan. Tapi, karena sibuk, maka ia tidak memperpanjang hubungan kerja sama tersebut dan beralih menjadi certificate promoter perusahaan ini.

Sekadar informasi, stifin adalah sebuah alat untuk mengetahui kepribadian seseorang secara genetik (personality genetic). Sementara finger print, berkaitan dengan penemuan bahwa di ujung-ujung jari manusia baik di tangan maupun kaki, berkumpul representasi syaraf-syaraf otak. Tapi, dengan alasan kesopanan, dalam tes, yang di-scan jari-jemari tangan dan muncullah istilah tes (melalui) sidik jari.

Kemudian, dibuat formulanya dengan mencoba mengelompokkan rumusnya hingga terbentuklah sebuah pola. Selanjutnya, data itu di-capture melalui internet, server, dan hasilnya dikelompokkan menjadi sembilan personality genetic yaitu sensing introvert, sensing extrovert, thinking introvert, thinking extrovert, intuiting introvert, intuiting extrovert, feeling introvert, feeling extrovert, dan instinct.

Selama ini, untuk mengetahui kepribadian seseorang secara genetik, kita menggunakan psikotes. Tapi, psikotes mempunyai kelemahan yaitu menampilkan apa yang tampil pada diri seseorang, saat itu.

Padahal, apa yang tampil pada diri seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu lingkungan dengan prosentase 80% dan genetik dengan prosentase 20%. Meski cuma 20%, tapi jika faktor genetik tidak masuk ke dalam faktor lingkungan, tentu saja hasilnya tidak akan 100%. Imbasnya, seperti anak-anak muda mengistilahkan: galau.

Dan, Denny yang selama ini galau dengan pekerjaannya pun menjalani tes finger print. Hasilnya, ternyata, ia tipikal pedagang yang ingin punishment dan reward diperoleh langsung. Ia bukan tipikal orang gajian.

Di sisi lain, sukses menurut setiap orang berbeda-beda yang menyangkut harta (uangnya banyak), tahta (jabatannya tinggi), cinta (disukai banyak orang), dan kata (ilmunya tinggi). Nah, berdasarkan tes finger print itu pula, diketahui jika Denny adalah orang yang merasa sukses kalau hartanya banyak.

“Kalau saya bekerja, kasarnya berangkat subuh pulang larut malam dengan handphone yang harus selalu aktif selama 24 jam, kapan saya akan kaya? Apakah saya harus korupsi dulu? Akhirnya, terpikir bahwa saya akan bisa kaya secara halal dengan usaha ini. Saya pun ‘bakar perahu’,” tuturnya.

Hal ini, sedikit banyak dipengaruhi oleh sang Ayah yang pada mulanya seorang militer, kemudian mengundurkan diri, dan lalu menekuni dunia bisnis. Sekali pun kehidupan di dunia bisnis itu up and down, tapi Denny ingin seperti sang Ayah.

“Namun, karena kami keluarga pegawai, maka saya di-warning untuk tidak mengikuti jejak Bapak saya. Tapi, saya sudah memutuskan jika nanti berumur 45 tahun akan resign dan membangun usaha sendiri,” tambahnya.

Hasilnya, sudah bisa diduga. Ia bukan hanya harus berantem dengan keluarganya, melainkan juga harus menghadapi omongan-omongan yang memerahkan telinga, mengingat gaji yang diterimanya selama ini lumayan besar dan mendapat berbagai fasilitas.

Denny yang kemudian terjun ke dunia bisnis pada umur 46 tahun, juga harus menghadapi kenyataan bahwa menjadi pengusaha itu bukan pekerjaan yang mudah. Dalam arti, membutuhkan energi yang kuat dan nyali/keberanian yang besar yang kalau dilakukan di usia yang sudah tua, misalnya setelah pensiun, kemungkinan tidak akan “terkejar” lagi. “Bahkan, bagi saya saat itu sudah terasa empot-empotan,” ungkap kelahiran Jakarta, 21 Mei 1966 ini.

Namun, tidak berarti terjun ke dunia bisnis di usia yang sudah tidak muda lagi, tidak ada untungnya. “Saya mempunyai ‘rasa’ menjadi anak buah. Sehingga, ketika harus bekerja dalam tim, saya tidak merasa canggung. Kedua, saya mengetahui bagaimana caranya mengelola bisnis dengan baik, ada business plan, pola pikir lebih panjang dan matang, bisa berkomunikasi dengan lebih baik, dan sebagainya. Secara mental pun lebih kuat dalam menghadapi dinamika bisnis,” lanjut sarjana manajemen personalia dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi International Business Management Indonesia, Jakarta, ini.

Berbeda, ia menambahkan, dengan teman-temannya yang dari muda sekali sudah menjadi pengusaha. “Saya melihat cara kerja mereka semrawut. Seperti, catatan keuangan tidak jelas, masalah keuangan melibatkan keluarga, dan sebagainya,” imbuhnya.

Namun, dari sini, Denny memetik makna bahwa akan lebih bagus menjadi pengusaha ketika masih muda. Karena, jika dilakukan setelah tua, secara fisik sudah menurun. Jika fisik sudah tidak memungkinkan, kemungkinan untuk memperoleh pemasukan sedikit pula atau bahkan sama sekali tidak ada.

“Jadi, sebaiknya, lakukan setelah lulus kuliah. Tapi, persiapannya ketika masih sekolah dengan misalnya berjualan pulsa, peralatan rumah tangga, dan sebagainya. Saya pun sudah melakukannya sewaktu kuliah, seperti bekerja di tempat fotokopi, mengurusi katering, membuat jaket almamater, dan lain-lain,” pungkasnya.

 

Catatan Denny Dachlan
  1. Fokus pada apa yang dikuasai (expertise). Jangan merambah yang lain. Karena, waktu untuk coba-coba sudah tidak ada lagi.
  2. Fokus pada apa yang disukai (hobi). Jadi, kalau pun harus rugi, tapi sudah mendapat kesenangan.
  3. Bisnis itu seperti roller coaster. Meski sudah berada di titik nadir, pasti nanti akan bangkit lagi. Karena itu, mental harus kuat.
  4. Fokus hanya pada satu bisnis, jika masih pemula.
  5. Segera setorkan hasil pemasukan ke bank. Sehingga, nantinya memudahkan jika akan pinjam modal ke bank.

 

Check Also

Sukses Membangun Kerajaan Bisnis dengan Telaten Merangkai Jaringan

Onny Hendro Adhiaksono (PT Trimatra Group) Dalam bisnis, selain modal, jaringan dan skill mempunyai peran …