Kabocha atau Labu Jepang
Benda apa pun yang masih bersifat baru, bahkan langka, pasti mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan. Apalagi, jika memberikan hasil yang cepat, banyak, dan bernilai jual tinggi. Seperti, kabocha atau Labu Jepang
[su_pullquote]Kabocha memiliki potensi yang luar biasa. Selain karena masih tergolong baru dan langka di Indonesia, juga masa panennya sangat cepat[/su_pullquote]
e-preneur.co. Melihat secara langsung ladang kabocha atau Labu Jepang merupakan satu kesempatan yang luar biasa. Perpaduan warna oranye, kuning, dan hijau dari kabocha dengan warna biru langit di Desa Geyong, Plaosan, Jawa Timur, yang berada di ketinggian lebih dari 700 m, membuat mata dan pikiran lebih sejuk.
Bukan hanya itu, ternyata di sini juga tersimpan sebuah potensi ekonomi yang luar biasa.
Kabocha merupakan jenis tumbuhan merambat. Buahnya yang juga disebut kabocha, digemari penduduk Indonesia. Buah ini bisa dikonsumsi dari anak-anak hingga orang tua. Sebab, bisa diolah menjadi kolak, kue, atau bubur.
Sementara dibalik warnanya yang indah, buah yang juga dikenal dengan nama waluh ini menyimpan berbagai zat dan vitamin, yang bermanfaat untuk mengobati segala macam penyakit. “Kabocha sangat banyak manfaatnya, di antaranya menghaluskan kulit dan mencegah penuaan dini. Selain itu, dengan mengonsumsinya secara rutin juga mampu menurunkan hipertensi, serta mengurangi risiko kanker dan penyakit jantung. Kabocha yang kaya serat ini baik pula untuk memperlancar buang air besar,” ungkap Wagimin, salah seorang leader petani kabocha di Desa Geyong.
Secara ekonomi, Wagimin melanjutkan, budidaya kabocha perlu dikembangkan secara maksimal. Karena, kabocha memiliki potensi yang luar biasa yakni di samping masih tergolong baru dan langka di Indonesia, juga masa panennya ternyata sangat cepat. Dan, buahnya setelah dipanen, mampu bertahan 6 bulan–1 tahun, jika disimpan di tempat yang kering.
“Sejak masa menanam di ladang hingga panen, budidaya kabocha membutuhkan waktu hanya 90 hari atau sekitar tiga bulan, dengan produktivitas yang lumayan tinggi. Dalam satu pohon, biasanya dihasilkan 4–5 buah dan memiliki berat rata-rata 1,5 kg/buah,” tambahnya.
Kabocha sangat baik bila dibudidayakan di daerah tropis, seperti Indonesia. Di ketinggian 700 m–1,500 m dpl, kabocha mampu berproduksi dengan baik. Meski, di dataran rendah sebenarnya juga bisa tumbuh.
“Namun, kualitas kabocha di dataran rendah dan tinggi berbeda. Di dataran tinggi, kabocha rata-rata memiliki kualitas grade A (berat buah rata-rata 1,5 kg), terasa lebih mantap ketika dipukul-pukul, dan pohonnya mampu berproduksi secara maksimal. Sedangkan di dataran rendah, produktivitas buah menurun dan kualitasnya rata-rata masih grade B,” ujarnya.
Sistem penanaman kabocha, bisa dilakukan secara sharing dengan tanaman lain atau secara khusus. “Biasanya, masyarakat setempat lebih senang men-sharing kabocha dengan tanaman lain, misalnya wortel. Di lahan seluas 1.600 m², saya menanam 350 batang kabocha yang saya sharing-kan dengan tanaman wortel,” tambahnya.
Untuk itu, jarak tanam yang ideal jika menggunakan sistem sharing yaitu 1,40 m. Sedangkan jika ingin membudidayakan secara khusus, jarak tanam yang ideal 70 cm.
“Saat baru membuka jalan, saya memberikan pinjaman biji kabocha ke petani. Saat itu, petani masih menganggap biji ini memiliki harga yang lumayan tinggi (1 biji kabocha = Rp1.000,-) dan ragu-ragu untuk pemasarannya. Tapi, setelah petani mengetahui sendiri potensinya dan ke mana mesti menjualnya, akhirnya mereka berani membeli bibit sendiri,” ujarnya.
Bibit kabocha bisa diperoleh di toko-toko pertanian, dengan harga sekitar Rp58.000,-/pack di mana satu pack berisi sekitar 65 biji. Biasanya, yang berhasil disemaikan sekitar 55 biji.
Sementara jika dilihat dari jenisnya, kabocha mempunyai lima jenis. Menurut Wagimin, jenis kabocha yang laku keras di pasaran yaitu kabocha oranye dan hijau. “Rasa kabocha oranye memang masih kalah manis dengan kabocha hijau. Tapi, pohonnya lebih produktif dan warna buahnya cantik. Sehingga, orang-orang lebih menyukai kabocha oranye,” ungkapnya.
Dalam pemasarannya, beberapa mitra yang berada di Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan beberapa kota besar lainnya siap menampung kabocha milik Wagimin dan teman-temannya.
Namun, dalam membudidayakan kabocha, ada kendala utama yang harus dihadapi yakni cuaca. Saat musim kemarau, kabocha bisa tumbuh dan berproduksi maksimal. Buahnya setelah panen pun bisa tahan disimpan dalam jangka waktu lama. Tapi, ketika musim penghujan, produktivitas kabocha biasanya menurun. Selain itu, buah yang sudah dipanen tidak tahan lama.
“Kendala lain yaitu serangan Kabut Bubur dari gunung. Kabut ini membuat pertumbuhan kabocha kurang maksimal. Di samping itu, yang juga perlu diwaspadai yakni serangan Lalat Buah. Kabocha yang masih berwarna kuning atau masih muda, pada umumnya rentan terhadap Lalat Buah. Untuk mengantisipasinya, seminggu sekali pohon kabocha bisa disiram dengan pupuk kekebalan buah,” ujar Wagimin, yang setiap bulan mampu memanen sekitar 40 ton kabocha.
Ke depannya, ia ingin membudidayakan kabocha hanya di satu lahan atau secara khusus. Di samping itu, untuk memangkas biaya pembelian pupuk, ia akan mengurangi penggunaan pupuk pestisida dan menggantinya dengan pupuk organik, yang saat ini sudah dia aplikasikan ke tanaman tomat miliknya.