Bawang Merah
Kemajuan ekonomi membutuhan lahan yang luas. Imbasnya, banyak lahan yang semula ditanami bawang merah berubah menjadi perumahan, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Di sisi lain, lahan-lahan di Brebes sudah kurang sehat. Tapi, tidak berarti tidak ada jalan keluar. Mengingat, masih ada lahan-lahan di luar sana yang siap untuk ditanami bawang merah
[su_pullquote]Bawang merah memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan cocok ditanam di mana saja[/su_pullquote]
e-preneur.co. Tahukah Anda, jika 65% pasokan bawang merah secara nasional berasal dari Pulau Jawa (khususnya, Jawa Tengah dan Jawa Timur, red.)? Dan, tahukah Anda, bila dari 65% tersebut, 20% di antaranya berasal dari Brebes?
Membudidayakan bawang merah bagi masyarakat Brebes sudah menjadi semacam budaya. Bahkan, menurut para leluhur, bertanam bawang merah bukan sekadar usaha, melainkan tradisi turun temurun. Karena itu, hampir semua lahan di sini, mayoritas ditanami bawang merah.
Di sisi lain, bawang merah memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sehingga, dengan lahan yang tidak luas sekali pun, hasilnya sudah mampu membiayai kebutuhan hidup mereka sekeluarga.
Sebagai gambaran, dengan lahan 0,3 ha, para petani bawang merah akan memperoleh pemasukan Rp50 juta. Berbeda dengan para petani padi, jagung, atau kedele yang dengan luas lahan yang sama, hanya memperoleh pemasukan Rp2,5 juta.
Namun, sejak beberapa tahun lalu, muncul masalah yakni produktivitas bawang merah di Brebes menurun. Penyebabnya, pertama, kualitas lahan semakin lama semakin menurun. Mengingat, eksploitasi terus-menerus, tanpa perbaikan. Kedua, banyak lahan di sentra bawang merah itu, yang digunakan untuk perumahan dan sarana penunjang ekonomi lainnya.
Imbasnya, banyak penduduk atau tepatnya petani bawang merah yang keluar dari Brebes. Di tempat yang baru seperti di Cirebon, Majalengka, Indramayu, Kendal, dan Weleri, mereka juga menanam bawang merah. Untungnya, kalau boleh dbilang begitu, bawang merah cocok ditanam di mana saja.
“Saya sudah melakukan survai tanah ke berbagai pelosok Indonesia. Ternyata, bawang merah cocok ditanam di mana saja. Di sisi lain, jika ada kekurangan pada tanah tersebut, masih bisa diupayakan. Misalnya, kekurangan karbon ya tinggal ditambahi,” jelas Mudatsir, DPL Program Kelompok Tani Mekar Jaya (Mekar Jaya Group) yang berlokasi di Desa Pakijangan, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes.
Intinya, ia melanjutkan, harus disesuaikan dulu dengan kondisi alam yang baru. Bukan sekadar copy paste. “Saya pernah ikut menanam bawang merah di Aceh dan Hambalang. Saat itu, kami menyesuaikan kondisi lahan di sana dengan menggunakan teknologi yang kami percayai. Karena, kami tidak bisa memaksakan model bertanam bawang merah di Brebes ke lokasi-lokasi di luar Brebes,” paparnya.
Hasilnya? “Jika aspek budidayanya pas, hasilnya akan sama. Tapi, ketika pertama kali kami membuka lahan, kami belum mengetahui. Imbasnya, produktivitas masih rendah. Namun, setelah mengetahui kekurangan-kekurangannya, lalu memperbaiki teknis budidayanya, kondisi pun kembali seperti semula. Seperti yang kami lakukan di Hambalang di mana produktivitas bawang merah di sana sudah berada di atas Brebes,” ungkap sarjana teknologi industri pertanian dari Institut Pertanian Bogor ini.
Sementara tentang teknologi yang digunakan yaitu pertama, menganalisa tanah untuk mengetahui seperti apa tanah tersebut. Kedua, daya dukung lahan. Seperti, sumber air, intensitas sinar matahari, pepohonan di sekitarnya, dan sebagainya. “Itu semua, pada akhirnya bisa kami rekayasa. Misalnya, dalam penyiraman ternyata sumber airnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka kami pun menggunakan sumber air dengan cara yang lain seperti sprinkler atau spray,” bebernya.
Ketiga, pemilihan bibit. Dalam memilih bibit harus disesuaikan dengan ketinggian lahan. Keempat, varietas bawang merah yang dibutuhkan pasar. “Kami tidak mungkin berspekulasi dengan menanam varietas bawang merah tertentu yang disukai masyarakat Brebes, misalnya, padahal masyarakat di daerah lain belum tentu atau bahkan tidak menyukainya. Kalau sudah begitu, ke mana kami akan menjualnya?” tambah sarjana S-2 di bidang agroteknologi dari Unswagati, Cirebon, ini.
Perlu diketahui, bawang merah memiliki banyak varietas. Tapi, hanya beberapa yang disukai pasar. Untuk dataran rendah, ada varietas Bima Brebes yang sebarannya ada di seluruh kawasan Pantura, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Berikutnya, varietas Bauji yang ngetop di Nganjuk. Demikian pula dengan varietas Tajuk, yang merupakan varietas baru. Sekadar informasi, Nganjuk merupakan sentra bawang merah di Jawa Timur, dengan daerah sebaran Sragen, Madiun, Bojonegoro, dan Mojokerto. Sementara Bawang Merah Tajuk, yang lebih banyak digunakan.
Sedangkan masyarakat Probolinggo dan Malang lebih menyukai varietas Biru Lancur. Selain itu, juga ada Bali Karet. Varietas berbentuk bulat ini banyak berkembang di Malang, Temanggung, Boyolali, dan Majalengka Atas (dataran tinggi).
Masing-masing varietas ini, memiliki pasar sendiri. Contoh Bali Karet yang disukai di pasar Temanggung, tapi di pasar Jakarta belum tentu laku. Di Jakarta, Bima Brebes lebih disukai.
Kembali ke masalah lahan di Brebes yang sudah jenuh, di samping kebutuhan lahan yang sudah semakin berkurang hingga budidaya bawang merah harus “dilempar” ke luar, sepertinya sudah selesai dengan keberhasilan penanaman dan pemanenan bawang merah di Hambalang. Betulkah? Ternyata, tidak!
Bertanam bawang merah di luar Jawa, ternyata terkendala oleh ketersediaan tenaga kerja. Sebab, proses budidaya bawang merah (dari penanaman hingga pemanenan dan pengeringan) merupakan periode padat karya. Misalnya, pada saat tanam untuk lahan seluas 0,5 ha saja dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 25 orang, sedangkan saat penjemuran/pengeringan jumlahnya jauh lebih banyak lagi.
Sementara, upah yang mereka terima (Rp65 ribu/hari) dengan jam kerja dari jam 07.00 hingga 12.00 selama 60 hari orang kerja, jauh lebih tinggi daripada UMR (Upah Minimun Regional). Masalahnya, tidak semua orang mau bekerja seperti itu, khususnya bagi tenaga kerja di luar Jawa yang beranggapan pekerjaan tersebut tidak menarik. “Untuk mengatasi masalah itu, kami pun mendatangkan tenaga kerja dari Jawa,” ungkapnya.
Perlu diketahui, penanaman bawang merah di luar Brebes ini sudah lama dilakukan. Tapi, yang intensif dilakukan pemerintah baru pada tahun 2014. Hal itu terjadi, ketika ada krisis bawang merah pada tahun 2013. Dengan demikian, masalah produktivitas bawang merah sudah terselesaikan. Meski, jumlah produksi secara nasional belum merata setiap bulannya.
Bila Anda tertarik untuk membudidayakan bawang merah, Mudatsir menyarankan agar Anda memiliki lahan seluas 0,5 ha. Luas lahan ini paling mendekati standar kebutuhan ekonomi dan inilah yang dicapai di lahan-lahan di luar Brebes. Lalu, berapa banyak yang dapat dipanen dari lahan seluas itu?
Untuk itu, kita harus mengetahui dulu berapa omsetnya. “Lahan 0,5 ha itu diasumsikan ditanami tiga kali dalam setahun. Dari satu kali tanam dan panen, diperoleh omset Rp100 juta. Dengan demikian, dengan tiga kali tanam diperoleh Rp300 juta. Sementara marginnya, minimal 25% atau sama dengan Rp75 juta/tahun. Lalu, margin itu dibagi 12 dan hasilnya sebesar Rp6.250.000,-/bulan. Bila omset itu dikaitkan dengan harga bawang merah (saat wawancara ini dlakukan), maka setiap kali panen dihasilkan 6 ton,” pungkasnya.