Produk Olahan dari Kotoran Sapi
Kotoran sapi, selama ini, selalu dijadikan biang kerok pencemaran lingkungan. Bahkan, dianggap sebagai salah satu penyumbang pemanasan global. Padahal, kotoran yang satu ini mempunyai keunggulan lebih banyak ketimbang kotoran binatang-binatang memamah biak lainnya. Sehingga, produk olahannya pun memiliki nilai jual
[su_pullquote]Peluang bisnis berbahan dasar utama kotoran sapi masih terbuka sangat lebar![/su_pullquote]
e-preneur.co. Kotoran sapi, sejauh ini, hanya dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Tapi, tak disangka dan tak dinyana, cuma karena mengandung silica (sebuah senyawa yang berfungsi sebagai pengawet dan pengering yang biasanya diletakkan di dalam kemasan makanan, khususnya, agar makanan terhindar dari kelembaban dan munculnya jamur, red.) hingga 9,5% setiap kilogramnya, kotoran yang menjijikan dan berbau menyengat ini dapat dimuliakan dengan menjadikannya benda-benda bernilai jual terbilang tinggi. Di sisi lain, kotoran sapi lebih halus, ringan, dan kuat dibandingkan dengan kotoran-kotoran binatang memamah biak lainnya.
Hal itu, baru disadari Syammahfuz Chazali ketika tahun 2006 ia mengikuti kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) di kampusnya, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. “Awalnya, saya berpikir untuk memanfaatkan kotoran manusia yang diambil dari septic tank untuk membuat biotoilet. Tapi, karena banyak yang merasa jijik, maka saya dan teman-teman mencoba membuat sesuatu dari kotoran sapi,” kisah pria, yang mempunyai panggilan keren, Syam Chazali, ini.
Kemudian, dengan dibantu beberapa dosen mereka dan Purwanto, seorang pengrajin gerabah dari Kasongan, kotoran sapi itu pun diolah menjadi gerabah. Lantas, mereka melakukan penelitian lebih lanjut terhadap kotoran yang dalam Bahasa Jawa diistilahkan tlethong ini.
Dengan bekal pengetahuan itu, Syam dan teman-temannya pun mengikuti PKM. Sayang, saat kompetisi itu diumumkan, 7 Februari 2007, mereka belum berhasil memenangkannya. “Namun, kami tidak menyerah dan terus mengadakan penelitian hingga keberhasilan yang kami capai saat ini,” kata sarjana peternakan ini.
Keberhasilan yang dimaksud Syam ini berupa juara satu Social Venture Competition tingkat dunia di Universitas Berkeley, Amerika Serikat, tahun 2009, di mana ia berhak atas uang sebesar AS$25.000. Sementara di dalam negeri, setelah berkonsultasi dengan para dosennya dan pihak-pihak yang berkecimpung dalam dunia pengolahan limbah hewan, ia memantapkan menapaki dunia bisnis. Kendati, tidak sedikit yang meragukan keberhasilan bisnis berbasis tlethong di bawah bendera PT Faerumnesia 7G ini.
“Tanggapan masyarakat ada yang pro, ada pula yang kontra. Biasanya, mereka akan bertanya apakah produk ini halal atau haram. Mengingat, terbuat dari barang najis. Berkaitan dengan hal ini, saya pernah menanyakan ke MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan seorang kyai di mana mereka menjawab bahwa bukan masalah lagi sepanjang produk itu sudah tidak berbau dan berasa, serta berubah warna. Bila konsumen masih ragu, saya memberi mereka sample untuk dicium agar mereka mengetahui secara langsung apakah masih berbau atau tidak. Di sisi lain, produk saya lebih ringan, halus, dan kuat. Semuanya itulah, yang menjadikan produk saya lebih unggul dan unik,” ucap Owner sekaligus Direktur Utama PT Faerumnesia 7G ini.
Sekadar informasi, untuk menghilangkan bau tak sedap dan kemungkinan besar berbagai bakteri yang ada, kotoran sapi tersebut didekomposisikan terlebih dulu. Lalu dibentuk dan akhirnya dibakar dalam suhu 1.000°C.
Untuk satu kali produksi, yang dilakukan di sebuah home industry yang terletak di Godean, Yogyakarta, dibutuhkan 1−2 ton kotoran sapi di mana harga per kilogramnya Rp150,-. Selanjutnya, dengan kotoran sapi sebanyak itu bisa dihasilkan batu bata sebanyak 800−900 buah, gerabah, dan kerajinan tangan seperti vas bunga, lampu aladin, dan lain-lain.
“Harga yang dipatok untuk gerabah dan barang-barang kerajinan tangan, saya patok berdasarkan bentuk, tingkat kesulitan, dan jumlah barang yang dipesan,” jelas kelahiran Medan, 5 November 1984 ini.
Ya. Produk-produk ini dibuat berdasarkan pesanan dan dipasarkan melalui internet ini. Meski begitu, produk-produk yang dibuat oleh perusahaan yang dibangun dengan modal awal Rp4,5 juta ini, tidak hanya mengisi pasar Jakarta, tapi hingga ke Belanda.
Namun, layaknya bisnis, tidak ada yang berjalan mulus. Semuanya membutuhkan proses. Demikian pula, dengan produk-produk berbahan dasar utama kotoran sapi ini.
Sebab, dengan bahan dasar yang gampang diperoleh dan dengan harga murah, tak ayal banyak pihak, terutama dari pengrajin batu bata dan gerabah skala industri kecil menengah, yang mengikuti jejaknya. Sekali pun, Syam telah mempatenkan hasil karyanya ini.
Alih-alih melaporkan mereka ke pihak yang berwajib, ia memilih untuk mewakafkan bisnis ini ke masyarakat luas. Dengan demikian, masyarakat tinggal membeli formulanya (faerumnesia bioaktivator, red.) ke perusahaannya sekaligus memperoleh pelajaran tentang cara pembuatannya.
“Ke depannya, saya ingin mengajari masyarakat peternakan agar mengolah kotoran sapi menjadi barang yang berguna. Apalagi, tanah semakin sulit diperoleh. Sehingga, kotoran sapi pun bisa dijadikan alternatif bahan dasar semua produk yang berbahan dasar tanah. Terutama, gerabah dan batu bata. Singkat kata, peluang bisnis berbahan dasar utama kotoran sapi masih terbuka sangat lebar!” pungkasnya.