Home / Senggang / LifeStyle / Atap Gelombang yang Go Green

Atap Gelombang yang Go Green

Polyroof

 

Go Green bukan sekadar slogan. Apalagi, cuma didengung-dengungkan. PT Sapta Lestari sudah menjalankannya, dengan mengolah limbah kemasan minuman produksi Tetra Pack menjadi atap gelombang (polyroof) dan produk turunannya. Sehingga, zero waste

 

[su_pullquote]Salah satu kelebihan polyroof yaitu tidak meninggalkan residu yang bisa memicu kanker paru-paru[/su_pullquote]

e-preneur.co. Sampah, bila dibiarkan menumpuk dan lalu membusuk, tentu akan menghadirkan berbagai macam penyakit. Begitu pula, jika dibuang sembarangan, ke selokan atau sungai misalnya, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan banjir.

Tidak bisa dipungkiri, sampah telah menjadi masalah klasik yang tidak ada habisnya. Meski, berbagai cara telah ditempuh untuk meminimalkan dampak negatifnya.

Ketika isu go green gencar disuarakan, muncul harapan akan terurainya permasalahan sampah ini. Hal ini, terlihat dari beberapa perusahaan yang mulai menggunakan bahan-bahan ramah lingkungan untuk produk mereka. Di samping itu, maraknya aktivitas mendaur ulang sampah menjadi barang yang bermanfaat.

Seperti yang dilakukan PT Sapta Lestari Perdana (SLP), perusahaan yang digandeng Tetra Pack Indonesia untuk mengolah limbah kemasan minuman yang dihasilkannya. “Kami membuat produk atap gelombang dengan memanfaatkan limbah kemasan minuman. Untuk itu, kami digandeng Tetra Pack untuk mengolah limbah kemasan minuman produksi mereka yang jumlahnya begitu banyak,” ujar Yanto Mulyahardi, Manajer Marketing PT Sapta Lestari Perdana.

Produk atap gelombang yang dilabeli Polylum Ecoroof  (Polyroof) ini, terbuat dari polium yakni campuran polietilen (salah satu jenis plastik, red.) dan alumunium. Campuran ini mungkin terdengar asing, karena memang tidak biasa dimanfaatkan untuk atap.

Perlu diketahui bahwa setiap kemasan minuman mengandung tiga unsur yaitu 75% kertas atau kardus, 15% polietilen, dan 10% alumunium. Nah, dua unsur terakhir itulah yang dimanfaatkan untuk membuat polyroof. “Kami tidak melakukannya sendiri. Semua limbah kemasan Tetra Pack dikirim ke tiga perusahaan yang sudah ditunjuk. Mereka bertugas memisahkan unsur-unsur tadi, lalu hasilnya dikirim ke tempat kami,” ungkap Yanto.

Teknologi pengolahan polylum, pertama kali diterapkan di Brasil sekitar 13 tahun lalu. Selanjutnya, dikembangkan lagi di India. Sementara Indonesia merupakan negara ketiga, yang dipercaya untuk menggunakan teknologi tersebut guna mengolah limbah kemasan Tetra Pack.

Polyroof, meski terbuat dari limbah, tapi Yanto menjamin jika kualitasnya jauh lebih kuat ketimbang asbes. “Orang mungkin bisa mengganti atap berbahan asbes setahun hingga dua kali. Namun, dengan satu kali pasang polyroof, kekuatannya bisa bertahan hingga lima tahun. Kelebihan lainnya, polyroof jauh lebih ringan, anti karat, anti rayap, tahan pecah, dan tahan api. Produk kami ini juga lebih sehat dibanding asbes. Karena, tidak meninggalkan residu yang bisa memicu kanker paru-paru,”paparnya.

Dari sisi harga pun, polyroof relatif miring. Saat itu, SLP menjual dengan harga Rp47.500,- untuk ukuran 185 cm x 85 cm dan Rp57.500,- untuk ukuran 210 cm x 85 cm.

Lebih dari itu semua, Yanto menekankan, khusus untuk limbah kemasan minuman dari Tetra Pack yang notabene bahan baku polyroof ini mempunyai kelebihan yaitu zero waste. Sebab, sisa potongan polyroof yang dicetak pun masih bisa diolah kembali menjadi polyboard, yang bisa digunakan sebagai dinding maupun plafon.

Di samping itu, lantaran teksturnya menarik, polyboard juga dapat dibuat menjadi furniture dan kerajinan. “Untuk itu, kami bekerja sama dengan Torro Furniture dari Cirebon,” katanya.

Imbasnya, kendati baru setahun polyroof ini diluncurkan, respon konsumen cukup besar. “Tapi, produksi kami masih belum banyak. Kami juga baru memiliki distributor di Jakarta dan Palembang. Meski begitu, kami mampu melayani langsung pembeli dengan kuantitas yang terbatas,” lanjutnya.

Ya. Walau permintaan membludak, SLP belum berencana menaikkan kapasitas produksinya. Pasalnya, supply bahan bakunya masih terbatas. Bahkan, untuk menjaga kontinuitas produksinya saja, SLP membutuhkan bahan baku sebanyak 120−150 ton/tahun.

“Kami mampu meningkatkan produksi dengan menambah mesin. Tapi, jika raw material-nya nggak ada, maka investasi mesin akan sia-sia. Di sisi lain, kami juga tidak terlalu profit oriented. Kami masih sekadar mengenalkan pada masyarakat bahwa ada produk bermanfaat yang berasal dari limbah,” pungkasnya.

 

 

Check Also

Ketika Para Perantau Kangen dengan Kampung Halamannya

Bubur Samin Bubur Samin bukanlah makanan tradisional Solo, tapi menjadi menu takjil yang ikonik di …