Craffe Shop
Dunia usaha craft itu, boleh dibilang, unik. Sebab, tidak ada target market dan patokan harga. Bahkan, pelaku usahanya pun tidak menargetkan omset. Mengingat, mereka membuatnya dengan cinta. Sehingga, lebih kepada kepuasan batin, termasuk untuk konsumennya. Tidak mengherankan, jika pasarnya selalu ada
[su_pullquote align=”right”]Selain bisa dikerjakan sendiri, usaha craft juga tidak membutuhkan modal besar[/su_pullquote]
e-preneur.co. Seperti makan buah simalakama. Rasa jenuh biasanya akan dialami oleh mereka yang telah bekerja bertahun-tahun. Setiap hari harus ngantor pun, lama kelamaan akan terasa hanya menghabiskan umur. Tapi, hal itu, harus ditelan bulat-bulat bila ingat tidak mempunyai tabungan atau skill. Sementara kebutuhan, “berteriak-teriak” minta dipenuhi.
Itu pula yang dialami Evi Erawati, yang telah bekerja selama 15 tahun di berbagai media, baik cetak maupun online. Untuk mengatasi hal itu, ia sering nyolong waktu di sela-sela mengerjakan tugas.
“Ketika karyawan lain sibuk makan siang, aku buka youtube dan mengumpulkan semua tutorial tentang membuat tas, dompet, rajutan, dan sebagainya. Lalu, aku simpan di laptop. Pertimbanganku, suatu saat aku memerlukan, mempunyai waktu senggang, atau mencari pelarian dari rasa jenuh, tutorial-tutorial ini bisa aku praktikkan. Pertimbangan lain, biaya kursus itu mahal. Sementara gaji kita, tidak cuma untuk membayar biaya kursus. Ada banyak kebutuhan lain yang harus dibiayai,” tutur Evi.
Ketika rasa jenuh dan tidak betah itu sampai di puncaknya, ia keluar dari tempatnya bekerja. Pada tahun 2012 itu, ia memutuskan fokus menekuni craft, meski masih bersifat main-main.
Ia memulainya dari menekuni rajutan dengan sistem satu jarum, dengan membuat sepatu bayi, syal, topi, dan sebagainya. Berlanjut menekuni quilting, dengan mengikuti kursus gratis lagi di youtube. Lantas, saat melihat patchwork, ia beralih ke patchwork dan membuat sajadah, selimut, dan lain-lain hingga muncul orderan dari 1−2 teman. Selanjutnya, berkenalan dengan Ibu Hema dan diajari dasar patchwork.
Berikutnya, ia tertarik dengan pembuatan tas. “Sepertinya tas kalau dibuat dengan konsep patchwork itu lucu. Lalu, aku mencari model-model tas di google,” kisah sarjana jurnalistik dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, ini. Dari situ, ia mengetahui jika bahan tas bukan cuma dari patchwork, melainkan juga dari kanvas, sifon, dan sebagainya, asalkan pelapisnya pas.
Namun, “godaan” untuk bekerja kembali terus mendatangi. “Sedang asyik menerima orderan, tiba-tiba ada yang menawarkan pekerjaan dengan gaji menggiurkan. Akhirnya, aku terima dengan pertimbangan gaji itu bisa aku belikan kain,” lanjutnya. Tapi, hal itu tidak lama dijalaninya, hanya setahun, akhirnya keluar lagi.
Hingga, setahun terakhir ini, ia memutuskan untuk serius terjun ke usaha pembuatan produk-produk handmade, khususnya tas plus dompet, pouch, clutch, dan sebagainya. Bersifat customize dan jumlahnya tidak lebih dari lima buah.
“Kalau pun lebih dari lima, sisanya untuk stok kalau nantinya akan mengikuti pameran. Itu pun, kalau bahannya sedang ada dan hasilnya tidak mungkin persis sama, seperti berbeda warna, jenis bahan, dan lain-lain,” ungkapnya. Meski begitu,ia tdak menutup kemungkinan bagi mereka yang ingin dibuatkan selimut, misalnya.
Mengapa craft yang dipilih? “Yang aku tahu passionku ada di craft. Aku merasa lebih gampang mencerna di craft daripada di bidang lain. Mungkin, aku juga mewarisi darah dari seni Nenek dan Bapakku,” kata kelahiran 23 Agustus 1968 ini.
Namun, ia mengakui jika tidak bisa berdagang. Karena itu, kalau ditanya berapa harga produknya, ia harus berhitung dulu. Bahkan, pada awal terjun ke usaha ini, ia sering bertanya ke teman-temannya berapa harus menghargai produknya.
Demikian pula, ketika harus menentukan target market. Sampai sekarang, ia masih belum fokus. “Siapa saja yang suka, silahkan membeli atau memesan. Yang tidak suka, ya, tidak masalah. Nothing to lose. Apalagi, produk handmade hanya disukai oleh orang-orang yang mengetahuinya saja. Mengingat, harganya tidak ada pakemnya. Contoh, dilihat dari fungsinya, apa bedanya tas produk masal seharga Rp70 ribu per tiga pieces dengan handmade yang Rp150 ribu tapi hanya satu piece?” ujarnya.
Sementara untuk pemasarannya, ia menggunakan facebook (fb) dan WhatsApp (WA). Sehingga, masih bisa didiskusikan masalah harga, bahan yang digunakan, ukuran, jumlah, dan sebagainya. Imbasnya, pembelian merambah hingga ke luar Jabodetabek. Seperti, sepatu rajutnya sampai ke Aceh, selimut patchwork-nya sampai ke Bangka, kendati masih dari teman ke teman yang ada dalam fb maupun WA.
Untuk memesan, biasanya, konsumen akan membayar di muka, baik sepenuhnya maupun setengahnya. “Dengan pembayaran setengahnya pun, sudah bisa kugunakan sebagai modal untuk membeli bahan. Tapi, kalau aku sudah mempunyai bahan dan mereka cocok, maka uang muka itu aku jadikan tanda jadi memesan,” jelasnya.
Dengan demikian, selain bisa dikerjakan sendiri (untuk pesanan dalam jumlah banyak, seperti pembuatan goody bag, bisa dengan outsource, red.), usaha ini juga tidak membutuhkan modal besar.
Omsetnya? “Belum dihitung. Tapi, kalau mau serius Rp2 juta−Rp3 juta per minggu bisa diperoleh. Karena, satu tas bisa dihargai Rp300 ribu−Rp400 ribu,” kata Evi, yang menamai usahanya Craffe Shop.
Tapi, laiknya sebuah usaha, dunia craft juga tidak berjalan lempeng. Namun, masalah yang ada bukan pada tidak lakunya produk yang dihasilkan atau banyaknya pemain lain yang membuat produk sejenis. Karena, hasil dari setiap tangan berbeda-beda, di samping setiap orang sudah memiliki rezekinya masing-masing. Masalah itu, ada pada bagaimana menjaga mood agar tetap stabil. “Untuk itu, aku membuka youtube dan mencari desain-desain yang menantang,” ungkapnya.
Sementara berbicara tentang prospek, menurut Evi, bagus. Karena, banyak orang yang ingin memiliki barang yang tidak dimiliki orang lain alias eksklusif, hanya satu. Dan, produk handmade biasanya dibuat hanya satu. Kalau pun dibuat dua, maka yang satu untuk display di pameran dan itu tetap berbeda. Itu sebabnya, penggemarnya selalu ada.
Anda berminat? Evi menawarkan kursus dengan biaya Rp175 ribu/orang (di dalamnya sudah termasuk bahan dan kit, red.). Peserta kursus akan diajari membuat satu tas dari jam 10.00 sampai 15.00.