Be Entrepreneur
Pindah kuadran dari karyawan menjadi entrepreneur disebabkan oleh bermacam-macam alasan. Tapi, ada satu hal yang pasti: pemutusan hubungan kerja! Untuk itu, tidak ada salahnya melakukan antisipasi
[su_pullquote]Sebelum selembar kertas bertuliskan “terima kasih atas dedikasi Anda selama ini bagi perusahaan” melayang, persiapkan diri Anda untuk memiliki penghasilan sendiri[/su_pullquote]
e-preneur.co. Secara populasi, komposisi terbesar usia produktif orang Indonesia berstatus sebagai karyawan. Dan, “ancaman” terhadap karyawan yaitu (entah kapan) pasti akan terputus hubungan kerjanya dengan perusahaan tempatnya bekerja. Termasuk, segala fasilitas yang dinikmatinya.
Namun, putusnya hubungan kerja ini—dan biasanya juga diikuti dengan putusnya sumber penghasilan atau setidaknya sumber penghasilan berkurang—tidak diikuti dengan putusnya kebutuhan manusia. Imbasnya, sang “bekas” karyawan pun terpojok. Mengingat, sumber penghasilan tertutup krannya, sementara tingkat kebutuhan justru malah melejit. Inilah dilema yang dihadapi oleh orang yang menjalankan profesinya “murni” sebagai karyawan.
Belakangan, banyak sekali training, sekolah, dan kursus kewirausahaan yang bisa mengubah mindset seorang karyawan menjadi seorang entrepreneur. Ada yang menyarankan untuk berpindah kuadran secara ekstrem dengan cara “membakar kapal”, tapi ada juga yang menyarankan agar perpindahan dilakukan secara smooth, melalui sebuah masa transisi. Tidak ada yang benar atau salah dalam saran itu. Semua mengandung risiko dan keuntungan.
Namun, e-preneur.co lebih condong untuk melakukan perpindahan secara smooth. Bukan karena pilihan ini lebih benar, melainkan lebih berdasar kepada data statistik: Dari 10 perusahaan baru, hanya satu yang masih bisa bertahan dalam kurun waktu lima tahun, hanya 4% perusahaan yang mampu bertahan dalam kurun waktu 10 tahun, dan setiap tiga menit ada perusahaan besar yang gulung tikar.
Data statistik tersebut membuktikan bahwa berbisnis bukanlah perkara yang mudah. Sehingga, perlu dipersiapkan secara matang. Dan, itulah perlunya masa transisi. Dalam arti, perlu perencanaan yang matang, perlu mempertajam intuisi bisnis, dan perlu melatih skill kewirausahaan. Karena, seringkali, bisnis di masa-masa awal bukan bisnis yang nantinya bakal ditekuni dan sukses. Seringkali, itu hanya sebagai “tempat belajar”.
Langkah-langkah yang sebaiknya diambil seorang karyawan yang akan pindah kuadran:
Pertama: Menginventarisasikan Bisnis
Kategorinya bisa didasarkan bisnis yang terkait dengan keahlian Anda saat ini, hobi, atau bisnis yang sekarang sedang mengalami pertumbuhan. Alangkah baiknya, jika bisnis itu memenuhi tiga persyaratan tersebut. Sehingga, Anda akan dengan mudah melejitkan bisnis ini.
Tidak ada keharusan bahwa sebuah bisnis yang dijalankan, harus sesuai dengan keahlian. Bisa saja, seorang dokter sukses berbisnis voucher pulsa. Tapi, dengan adanya keahlian, seseorang jauh lebih bisa memperhitungkan secara riil bisnisnya. Dan, jika mengalami hambatan atau kendala, cenderung sudah memiliki gambaran kasar solusinya.
Hobi juga penting dijadikan alat kategori, untuk menginventarisasikan bisnis yang akan dijalani. Hobi merupakan sumber sebuah energi.
Memulai bisnis membutuhkan ketahanan ekstra, kesediaan untuk bekerja lebih keras, bahkan di saat-saat hari libur bagi karyawan. Orang yang tidak memiliki minat terhadap sebuah bidang, cenderung mudah lelah dan mudah menyerah terhadap kendala yang ada.
Sebaliknya, orang yang memiliki hobi di bidang yang digeluti akan cenderung penasaran, jika gagal mengatasi sebuah persoalan. Ia akan terus-menerus mencari solusinya, tanpa lelah, dan tidak akan menyerah. Hasilnya bisa ditebak: ia akan mendapatkan solusi yang dicarinya.
Kategori ketiga yaitu menginventarisasikan bisnis yang sedang mengalami pertumbuhan. Analogi bisnis yang sedang mengalami pertumbuhan yaitu pasar malam yang penuh dengan transaksi.
Jika Anda berada dalam kerumunan di pasar malam itu, dipastikan Anda akan kecipratan rezeki. Apa pun profesi Anda. Di pasar malam—di mana banyak uang yang beredar—tukang obat, juru parkir, tukang odong-odong, penjual bakso, penjual gulali, bahkan pencopet pun akan kebagian rezeki. Nah, jika Anda dalam sebuah bisnis yang sedang mengalami pertumbuhan pasti Anda akan mendapatkan rezeki itu.
Kedua: Membangun Jaringan
Ketika Anda ingin membangun bisnis, maka manfaatkanlah kesempatan selagi menjadi karyawan untuk mengembangkan jaringan. Tidak ada bisnis moderen yang bisa berkembang tanpa luasnya jaringan, baik jaringan supply, demand, maupun jaringan kemitraan. Bahkan, jaringan itu sendiri bisa menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan.
Pada saat seseorang menjadi karyawan—apalagi berada di posisi lumayan—dalam aktivitasnya pasti akan banyak berhubungan dengan pihak lain. Kesempatan-kesempatan tersebut harus bisa dimanfaatkan untuk membangun sebuah jaringan.
Perlakukan semua orang adalah penting. Siapa pun yang pernah berhubungan dengan Anda, perlakukan sebagai orang yang penting dan berharga bagi Anda. Semua orang dan jaringan merupakan aset Anda.
Ketiga: Rancanglah Berbagai Opsi
Berdasarkan data statistik, banyak bisnis yang berguguran di awal-awal pendirian. Daya tahan masing-masing orang terhadap kegagalan bervariasi. Itulah perlunya, berbagai opsi pada masa transisi. Itu pula perlunya fleksibilitas—yang disesuaikan dengan perkembangan bisnis yang ada—dalam memilih dan mengelola bisnis.
Dalam berbisnis, orang tidak bisa bersikukuh pada jenis bisnis yang sama, jika hasil penilaian menunjukkan bahwa bisnis yang ditekuni akan sulit berkembang. Harus dibedakan antara keteguhan sikap dengan sikap keras kepala.
Namun, tidak berarti bisnis sebelumnya terbuang percuma—setidaknya bisnis sebelumnya bisa dijadikan “ongkos belajar” dan “nge-gym” untuk melatih “otot-otot kewirausahaan”.
Sudah banyak bukti bahwa bisnis besar yang berkembang, awalnya bukanlah jenis bisnis tersebut. Tidak perlu alergi mengoreksi kesalahan pemilihan jenis bisnis. Dan, itu hanya mungkin dilakukan jika kita memiliki berbagai opsi di masa-masa transisi.
Keempat: Tentukan Waktu Anda akan Resign
Bagi seorang karyawan yang telah menjalankan bisnis, pada suatu titik tertentu akan sampai di persimpangan jalan. Tidak ada aturan baku untuk dijadikan patokan, kapan seorang karyawan harus meninggalkan tempatnya bekerja, ketika usaha yang dibangunnya memberikan tanda-tanda ke arah kemajuan.
Menentukan tenggat waktu resign, memang bukan persoalan mendesak, tapi perlu dilakukan agar karyawan bisa fokus terhadap usaha yang dibangunnya. Ada beberapa orang yang mempunyai kemampuan menjalankan peran ganda sama baiknya, namun, secara umum, orang akan bisa mengerjakan sesuatu secara lebih baik jika fokusnya hanya satu.
Kelima: Eksekusi Secepatnya
Seberapa pun ukuran usaha yang siap Anda jalankan, eksekusi segera. Kegagalan utama seorang calon entrepreneur yaitu tidak pernah mengeksekusi rencana bisnisnya.
Karena itu, seorang karyawan disarankan untuk secepatnya menjalankan usahanya, sekecil apa pun ukurannya. Sebab, jika usaha itu gagal, ia masih memiliki penghasilan. Sebaliknya, jika usaha itu tidak segera dieksekusi, jelas ia akan mengalami kerugian, lebih tepatnya rugi kesempatan.
Suatu saat nanti, mau tidak mau, ia dipaksa untuk memilih antara berbisnis atau menerima penghasilan sekadarnya ketika melayang selembar kertas bertuliskan: Terima kasih atas dedikasi Anda selama ini bagi perusahaan.
Berikut empat entrepreneur yang berbagi kisah mereka pindah kuadran dari karyawan menjadi entrepreneur dan tips-nya. Mereka adalah Suherman Wiriadinata (Master Franchise I−Cup Bubble Tea, Pemilik Gerai Clothing Redux dan Produsen Clothing Redux Absolute, Pemilik Usaha Jasa Bordir WAW, Pemilik Balai Lelang Bandung, Pemilik Usaha Rental kendaraan) yang menyarankan Jangan “Bakar Kapal” atau Fitriyanto (Pemilik PT Vitechindo Perkasa) yang mengusulkan Jangan Hanya Menjalankan Kewajiban Sebagai Karyawan. Sementara Adrian Suherman (Mantan CEO dan Co-Founder DealKeren) menyatakan Jadikan Modal dari Investor Sebagai Motivasi dan Mohamad Rosihan (Pemilik Saqina Distro Muslim) yang menyarankan Mempekerjakan Diri Sendiri Terlebih Dulu. Semoga bermanfaat.