Home / Liputan Utama / Jangan “Bakar Kapal”

Jangan “Bakar Kapal”

Suherman Wiriadinata

(Master Franchise I−Cup Bubble Tea, Pemilik Gerai Clothing Redux dan Produsen Clothing Redux Absolute, Pemilik Usaha Jasa Bordir WAW, Pemilik Balai Lelang Bandung, Pemilik Usaha Rental kendaraan)

Dari karyawan berpindah menjadi entrepreneur sering dianggap sebagai tindakan “bakar kapal” atau nekad. Padahal, itu sebenarnya kepandaian mengelola risiko. Dan, itulah yang dilakukan Suherman hingga sukses mendirikan dan mengelola enam usahanya

[su_pullquote]Untuk menjadi entrepreneur sukses, selain tekun dan tahan banting, network yang luas juga sangat diperlukan[/su_pullquote]

e-preneur.co. Banyak jalan seorang karyawan berpindah kuadran menjadi entrepreneur. Selain mempersiapkan diri dengan membuka usaha sampingan selama bekerja atau membeli franchise, bisa juga dengan sengaja mengundurkan diri dan langsung menceburkan diri dalam dunia bisnis.

Tidak ada pilihan yang salah atau benar. Pasalnya, apa pun pilihannya, tentu ada plus minusnya.

Bila mempersiapkan diri dengan matang semenjak menjadi karyawan, saat terjadi kegagalan, sumber keuangan pribadi masih terkucur dari gaji sebagai karyawan. Pun, masih ada kesempatan untuk belajar lagi hingga akhirnya bila telah yakin, tinggal mengundurkan diri dari tempatnya bekerja. Tapi, tentu, hal ini membutuhkan waktu dan proses yang lama.

Padahal, jiwa seorang entrepreneur itu sejatinya harus tahan banting dan berani menerima risiko. Setidaknya, sejumlah entrepreneur sukses telah mengalami jatuh bangun terlebih dulu, baru bisa menuai keberhasilan.

Hal ini, juga dialami Suherman Wiriadinata, yang berani mengundurkan diri dari sebuah department store di Amerika Serikat (AS) untuk kembali ke Indonesia menjadi entrepreneur.

Selain karena diminta kembali ke Tanah Air oleh orang tuanya, sarjana textile engineering dari Philadelphia University, AS, ini melihat Indonesia merupakan tempat yang tepat untuk menjadi entrepreneur. “Di sini, peluang untuk maju sangat besar. Tapi, bila ingin mengejar karir ya tempatnya di Amerika. Karena, negaranya maju,” ujar Suherman.

Ia mengawali “petualangan” menjadi entrepreneur dengan melanjutkan usaha tekstil orang tuanya di Bandung. Tidak lama kemudian, ia memberanikan diri membuka usaha garmen.

“Waktu itu, saya mengelolanya tidak secara profesional. Karena, saya tidak menguasai betul bidang ini. Yang saya kuasai hanya membuat kain. Saya tidak bisa membuat sumber daya manusianya bekerja dengan handal dan bermoral bagus. Imbasnya, gagal,” kisah kelahiran Bandung ini.

Namun, ia menganggap kegagalan itu sebagai sebuah pelajaran. Walau, sempat frustrasi. “Kegagalan dan stres yang saya rasakan, saya anggap ujian. Bila saya memulai usaha lagi, pasti hal-hal seperti itu tidak akan menjadi persoalan lagi bagi saya,” lanjut master di bidang international business dari almamater yang sama ini.

Alhasil, setelah itu, beberapa usaha yang ia rintis maupun partnership dengan rekan-rekannya mulai menoreh sukses. Sebut saja, master franchise I−Cup Bubble Tea (minuman Taiwan, red.), gerai clothing Redux dan produksi clothing bermerek Redux Absolute, WAW (jasa bordir, red.), Balai Lelang Bandung, hingga usaha rental kendaraan.

Menurutnya, tidak semua karyawan bisa mengikuti jejaknya. Banyak hal yang menjadi kendala. Misalnya, mental karyawan yang sudah puas dan merasa nyaman dengan penghasilannya.

“Sopir saya, misalnya, dia sudah merasa cukup dengan gajinya, sampai dia meninggal. Tapi, ada karyawan yang kategori kreatif, dalam arti, tidak tahan bila duduk di belakang meja saja, senang sesuatu hal yang baru, dan mempunyai jiwa ingin terus belajar. Jiwa seperti itu, sangat cocok menjadi entrepreneur. Atau, menjadi karyawan saja sudah bisa disebut entrepreneur bila dalam dirinya sudah ada jiwa entrepreneurship. Sehingga, dia ikut membuat perusahaannya maju,” katanya.

Banyak faktor yang membuat entrepreneur itu sukses, ia melanjutkan, dalam menjalankan bisnisnya. Selain ketekunan dan tahan banting, network yang luas juga sangat diperlukan.

“Kita harus membiasakan diri berpola pikir terasah. Sehingga, setiap ada problem mengetahui bagaimana solusinya. Menjadi entrepreneur di Indonesia tidak bisa disamakan dengan pengalaman kerja saya di AS. Karena, kondisinya sudah berbeda,” ujarnya.

Di sisi lain, sebetulnya, untuk menjadi seorang entrepreneur tidak ada kata nekad atau “bakar kapal” bagi seorang karyawan. “Bukan nekad, tapi manajemen risiko. Apa pun yang kita lakukan pasti dapat hikmahnya. Lihat dari sudut pandang positif. Kalau orang yang konservatif, mungkin hanya akan menginvestasikan sebagian kecil dari uang yang dimilikinya. Misalnya, mempunyai Rp100 juta. Untuk modal usaha, dia hanya menggunakan Rp10 juta. Sehingga, bila rugi, masih ada sisanya. Tapi, kalau yang ‘dicemplungkan’ Rp100 juta, maka hidup matinya di sana, mungkin dia akan lebih serius. Sehingga, kemungkinan berhasilnya sangat besar,” ucap suami Cherryl M Gunawan ini.

Menurutnya, kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. “Gagal itu proses, sukses tertunda. Bukan nekad. Yang penting mau mencoba atau tidak. Gagal ya jangan kapok. Coba lagi. Mungkin akan terbuka lagi peluang lain. Bila gagal, anggap saja itu sebagai biaya belajar. Asset network dari menjalankan usaha itu, bisa menjadi modal untuk usaha selanjutnya,” ujarnya.

Faktor dominan yang membuatnya berhasil, ia melanjutkan, yaitu pengalaman dan network yang kian luas. “Entrepreneur besar, yang usahanya jatuh bangun pun, tidak pernah jatuh miskin. Karena, sebelumnya sudah mempunyai network dan kemampuan untuk bangkit kembali,” pungkasnya.

Tips dari Suherman Wiriadinata
  • Berani mengambil risiko.
  • Perluas network.
  • Anggap kegagalan sebagai biaya untuk belajar.
  • Bila masih menjadi karyawan, anggaplah Anda sebagai pengusaha dari perusahaan tempat Anda bekerja.
  • Berpikir positif.

Check Also

Harus Pandai Membaca Karakter Orang

Fairuz (Redline Bags)   Membangun bisnis di dalam bisnis dan satu sama lain berhubungan itu …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *