Sambara
Dalam bisnis yang mengusung konsep franchise, biasanya franchisor cuma menjual brand-nya, sementara franchisee hanya mengikuti tren. Tapi, tidak dengan Sambara. Rumah makan khas makanan Sunda ini juga akan terus-menerus memberikan support kepada franchisee-nya, termasuk ikut menangani masalah-masalah manajemen dan operasional yang dihadapi franchisee. Sementara franchisee, dituntut untuk mempunyai passion dalam membangun bisnisnya
[su_pullquote align=”right”]Dalam bisnis rumah makan, selalu ada ketakutan ditinggalkan oleh chef. Tapi, Sambara memberi jaminan kemudahan dalam penggunaan bumbu yang dibuat. Sehingga, hampir tidak ada ketergantungan pada chef[/su_pullquote]
e-preneur.co. Pada tahun 2006, Tol Cipularang dibuka. Imbasnya, Bandung mengalami perkembangan yang luar biasa. Sehingga, menarik perhatian orang-orang dari berbagai daerah untuk mengunjunginya.
Pada umumnya, ketika orang-orang dari suatu daerah datang ke suatu daerah yang lain, mereka akan mencari makanan khas dari daerah yang didatangi. Dan, makanan pun menjadi tujuan wisata (baca: wisata kuliner, red.).
Berkaitan dengan itu, di Bandung, banyak dibangun rumah makan Sunda. Salah satunya, Sambara.
Namun, berbeda dengan berbagai rumah makan yang hanya mengusung makanan Sunda yang ada saat itu, Sambara juga mengangkat konsep dagangan yang dulu dilakukan orang-orang Sunda yaitu men-display makanannya, tanpa menu. Atau, yang kita kenal dengan istilah keren: buffet. Dengan demikian, konsumen bisa memilih langsung makanan yang diinginkan.
Di sisi lain, dengan lokasi di Jalan Trunoyo yang notabene tidak jauh dari Gedung Sate, Gedung DPRD, Kantor Gubernur, dan Kantor Walikota, tidak mengherankan bila Sambara dikunjungi banyak tamu dari berbagai lapisan. Pada hari-hari biasa, kebanyakan yang datang dari kalangan pebisnis, instansi pemerintah, korporasi, dan travel. Sedangkan pada akhir pekan, pengunjung yang datang dari kalangan keluarga.
Namun, Sambara yang hadir pada 15 April 2006 tidak hanya bergerak di bidang rumah makan, tapi juga memiliki meeting room, serta melayani katering dan banquet di mana makanan yang disajikan bukan makanan Sunda, melainkan makanan-makanan favorit dari seluruh Nusantara dan mancanegara, seperti oriental, western, dan Eropa.
Sekitar tahun 2010−tahun 2011, Sambara yang telah memiliki tiga outlet yaitu di Jalan Trunojoyo (Bandung), Jalan Cipete Raya (Jakarta Selatan), dan Sambara BSM (Bandung) mulai mengonsepkan sistem franchise. Mengingat, berdasarkan peraturan bahwa jika sudah berumur lima tahun, maka sebuah bisnis rumah makan sudah dianggap matang (sudah pernah mengalami jatuh bangun, red.).
“Bisnis adalah sebuah konsep yang tidak boleh ketinggalan zaman. Demikian pula, dengan Sambara. Sebagai bisnis rumah makan, kami merasa bahwa kami tidak boleh ketinggalan konsep. Jadi, masuklah kami ke konsep franchise. Untuk itu, kami mempersiapkan diri dengan mempersiapkan ‘software’-nya atau aturan main, legalitas, sistem perjanjian, bagaimana mengelola usaha franchise, termasuk karyawan yang akan direkrut dan kesiapan publikasi,” kata Eric Michael, Corporate Operation Manager Sambara.
Dalam franchise yang ditawarkan, Sambara menyediakan empat tipe. Pertama, casual fine dining. Dengan luas area minimal 900 m², maka tipe ini mampu menampung 200–300 orang. Sementara lokasinya bisa di kawasan perkantoran, resor, perumahan, dan sebagainya. Untuk tipe ini, nilai investasinya Rp2,1 milyar–Rp2,5 milyar dan sudah running.
Tipe kedua, resto dengan sitting capacity untuk sekitar 150 orang. Sedangkan luas area sekitar 400 m²–500 m². Sementara total investasinya Rp1,2 milyar–Rp1,350 milyar.
Tipe ketiga, xpress yang mempunyai sitting capacity di bawah 100 orang. Untuk tipe ini disyaratkan berlokasi di ruko (rumah toko) yang ramai atau kampus, tapi idealnya di mal. Sementara nilai investasinya Rp750 juta–Rp900 juta.
Keempat, warung dengan kapasitas 30–40 kursi dan total investasi Rp350 juta–Rp500 juta, sedangkan lokasinya di food court. “Untuk tipe warung juga boleh berlokasi di ruko, tapi harus mempunyai induk yaitu mereka yang telah mengambil tipe xpresss, resto, atau casual fine dining,” ungkap Eric.
Manajemen Sambara, ia melanjutkan, berhak untuk menyarankan kepada calon franchisee sebaiknya tipe franchise apa yang diambil, setelah melakukan survey lokasi dan mengetahui bahwa kemungkinan besar calon franchisee tidak akan dapat membukukan nilai penjualan, sebesar tipe franchise yang diinginkan. Misalnya, dengan menyarankan agar menurunkan dari casual fine dining menjadi resto.
Selanjutnya, tidak semua luas lokasi digunakan dan menyerahkan ke calon franchisee sisa area untuk digunakan sebagai apa. “Kalau calon franchisee tidak mau menerima saran kami, maka rencana kerja sama itu pun batal,” tegasnya.
Bagi bisnis rumah makan, lokasi adalah yang paling utama. Seperti, mudah dijangkau dan dikenali orang-orang. Jika saat survey lokasi, ternyata manajemen Sambara tidak cocok dengan lokasi yang diusulkan calon franchisee, maka manajemen Sambara akan menanyakan apakah ada lokasi yang lain.
Kalau ada, manajemen Sambara akan menyarankan untuk memilih tempat tersebut. “Tapi, pada umumnya mereka tidak mau, mereka bertahan pada lokasi yang mereka inginkan. Dan, rencana kerja sama kami pun tidak berlanjut,” tambahnya.
Di samping luas area, sitting capacity, dan nilai investasi, di sini juga ada perbedaan pada banyaknya menu yang disediakan. “Sambara mempunyai lebih dari 100 menu dan semuanya tersedia di casual fine dining. Sementara di resto hanya 80-an menu, di xpress ada 40–60 menu, dan di warung ada 18 menu. Perbedaan ini dilakukan lebih menyangkut pada nilai belanja tamu yang datang,” ucap sarjana manajemen hotel, Universitas Sahid, ini.
Sementara berbicara tentang balik modal, pada umumnya, bisnis rumah makan baru mencapainya setelah 2–3 tahun beroperasi. “Tapi, kami mengusahakannya bisa dalam tempo dua tahun,” katanya.
Nah, agar bisa segera balik modal, casual fine dining harus dapat membukukan nilai penjualan minimal Rp500 juta–Rp700 juta per bulan. Untuk resto, harus mampu membukukan nilai penjualan minimal Rp300 juta/bulan. Untuk express diharapkan di angka minimal Rp150 juta/bulan dan untuk warung minimal di angka Rp100 juta/bulan.
Sedangkan untuk royalti fee-nya, di casual fine dining sebesar 7,5%, untuk resto 7%, untuk xpress 6,5%, dan untuk warung 5%. Masing-masing diambil begitu rumah makan beroperasi.
Keuntungan menjadi franchisee Sambara? “Pertama, kami tidak hanya menjual brand, tapi kami juga akan terus-menerus men-support. Kedua, dalam bisnis rumah makan, selalu ada ketakutan ditinggalkan oleh chef-nya. Tapi, kami memberi jaminan pada bumbu yang kami buat. Kebetulan Sambara itu kata dalam Bahasa Sunda yang berarti bumbu. Proses memasak dengan bumbu instan kami gampang sekali. Dengan demikian, hampir tidak ada ketergantungan pada chef. Namun, karena chef mempunyai peran yang besar dalam bisnis rumah makan, jika franchisee ditinggalkan chef-nya, maka kami akan meminjamkan chef kami. Ketiga, kami juga ikut menangani masalah-masalah yang menyangkut manajemen dan operasional pada outlet franchisee,” jelasnya.
Saat ini, Sambara telah memiliki franchisee di Serang (yang bersangkutan lalu membuka lagi di Cilegon, red.), Pangakalan Bun, Palembang, Depok, Makassar, Green Teras Taman Mini Indonesia Indah, dan Cirebon. Total, sampai akhir tahun 2014, Sambara telah membukukan 10 franchisee.