Gaet Konsumen dengan Keikhlasan
Banyak orang berpikir bahwa kemampuan para Ibu rumah tangga dalam memasak bagi keluarga mereka merupakan sesuatu yang lumrah. Padahal, jika pandai mengelola dan menekuninya, kegiatan yang seringkali dipandang sepele ini bisa berubah menjadi usaha yang menjanjikan. Seperti yang dilakukan Nurmala, yang mempunyai penghasilan sendiri dari usahanya membuat masakan
[su_pullquote]Pesanan selalu ada, pertemanan tetap terjaga[/su_pullquote]
e-preneur.co. Memasak merupakan kegiatan rutin yang biasa dilakukan para Ibu rumah tangga. Termasuk, Nurmala.
Ibu dari Sarah dan Sultan ini selain merasa memasak merupakan tugasnya sebagai Ibu rumah tangga, juga karena ia bisa memasak dan menyukai aktivitas ini. “Seperti para Ibu rumah tangga pada umumnya, setiap pagi aku menyiapkan sarapan dan bekal untuk anak-anakku,” tutur Ala, sapaan akrabnya.
Setelah anak-anak berangkat sekolah dan urusan rumah beres, Ala berkegiatan lain, seperti mengikuti pengajian atau arisan. Lalu, ia berinisiatif untuk memasak makanan-makanan tertentu dan membawanya dalam acara kumpul-kumpul itu, sekadar untuk disantap bersama.
“Suatu ketika, saat sedang menyantap masakan yang saya bawa, ternyata cocok di lidah mereka. Lalu, ada yang bertanya resepnya. Bahkan, ada yang minta dibuatkan (memesan). Untuk resep, aku memberikannya begitu saja. Sementara untuk yang memesan, ya aku buatkan. Ternyata, kemudian, mereka membayar. Dari situ, aku berpikir untuk menjadikannya usaha,” lanjutnya.
Selanjutnya, kelahiran Jakarta, 13 Agustus 1969 ini pun mengubah hobinya memasak menjadi sebuah usaha. Tapi, ia masih menjalaninya secara iseng, lebih tepatnya iseng-iseng berhadiah. Imbasnya, usaha ini sempat berhenti dalam rentang waktu yang cukup lama.
Sekitar lima bulan lalu, ia memulai lagi usaha ini dengan serius. Untuk itu, ia menanamkan modal Rp1 juta yang lantas dibelanjakan bahan baku.
Usaha yang diberi “merek” Nurmala ini, menyediakan makanan dan minuman dalam porsi besar (minimal untuk 6−7 orang, red.). Seperti, nasi liwet, nasi kuning, sate paru, rendang, puding, es buah, dan sebagainya. “Harga mulai dari Rp60 ribu hingga Rp750 ribu,” ujarnya.
Dalam “memasarkan produknya”, Ala melakukannya dengan cara yang simple yaitu setiap kali selesai memasak, lalu ia memotretnya. Selanjutnya, ia kirimkan foto-foto itu ke teman-temannya melalui WA, facebook, dan sebagainya. “Biasanya, mereka menanggapi dengan memesan. Setelah itu pesanan aku buatkan dan diantar dengan menggunakan ojek online,” katanya.
Tapi, pernah juga ia membuat begitu saja. Lantas, dibawa anak-anaknya ke sekolah. Nanti di sekolah, mereka membaginya dengan teman-teman. Atau, ia membuatkan untuk para guru anak-anaknya.
“Suatu hari, anakku ke sekolah aku bawain nasi liwet sebakul untuk guru-gurunya. Lalu, mereka bertanya apakah aku berjualan ini. Aku menjawab iya, dengan harga sebakul Rp250 ribu. Aku bawain itu agar mereka icip-icip dulu. Kalau aku harus mengundang mereka ke rumah untuk icip-icip agak sulit. Aku tidak pernah berpikir yang kulakukan ini rugi. Aku yakin kalau lidah orang itu nyaman dengan masakanku, nanti dia pasti akan memesan,” ungkapnya.
Tanpa mempertimbangkan untung−rugi, mengingat target market-nya teman-teman, dalam masalah pembayaran pesanan pun Ala tidak pernah menagih. Konsumennya yang biasa membayar dengan cara ditransfer, boleh membayarnya kapan pun.
“Aku berpikir, mereka teman-temanku dan sering bertemu dalam berbagai kesempatan. Jadi, pasti mereka akan membayar. Tidak berarti aku tidak berorientasi duit, tapi aku lebih mengutamakan pertemanan. Faktanya, mereka selalu menepati janji. Setiap akhir bulan, ada saja yang transfer. Pernah, suatu ketika, aku menerima transfer hingga Rp1,4 juta,” bebernya.
Namun, lulusan jurusan Tata Usaha sebuah SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas atau yang sekarang disebut SMK/Sekolah Menengah Kejuruan) ini, tidak menampik jika apa yang ia lakukan merupakan bagian dari strategi agar pesanan selalu ada, sementara pertemanan tetap terjaga.
“Aku berbisnis dengan ikhlas. Memang antara rugi dengan untung boleh dibilang tipis. Apalagi, setiap kali ada pesanan selalu aku tambahin, misalnya teh tarik satu termos, kerupuk, dan lain-lain,” jelas Ala, yang juga memenuhi pesanan-pesanan konsumen di luar menu yang “dijajakan”, seperti permintaan akan bawang goreng, teri goreng, sambal pecel, dan bumbu jadi. Imbasnya, pesanan yang semula hanya berkutat di kawasan di Jakarta Selatan, sekarang sudah merambah Cibubur dan Bekasi.
Tapi, mengingat belum bisnis murni, Ala tidak pernah menetapkan target baik yang menyangkut banyak pesanan maupun omset. “Kalau dalam sehari, aku cuma sanggup melayani permintaan sebanyak tiga bakul ya sudah. Sedangkan untuk pemasukan, kalau ada yang transfer (membayar) ya sudah cukup itu. Sehingga, aku bisa membeli sendiri hal-hal yang kuinginkan, membelikan sesuatu untuk anak-anak, atau tidak selalu minta ke suami,” ucapnya.
Hal ini bisa dimaklumi, karena dalam mengerjakan segala sesuatunya, Ala melakukannya sendirian. “Aku belum bisa berbagi pekerjaan dengan orang lain. Selagi aku masih bisa masak sendiri dan aku nyaman, hal ini belum menjadi masalah. Meski, nanti, dalam perkembangannya, aku akan “ambil” orang,” tambah Ala, yang membangun usahanya di rumah tinggalnya yang terletak di Jalan Swadarma V, Ulujami, Jakarta Selatan.
Lalu, bagaimana dengan persaingan? Diakui Ala bahwa ia juga melihat adanya persaingan yang ketat dalam usaha kuliner. “Teman-temanku juga terjun ke dalam usaha semacam ini, tapi aku tidak merasa tersaingi. Karena, aku masih belum berpikir seperti seharusnya berbisnis. Aku masih berpikir ini iseng-iseng berhadiah, hobi yang menjadi duit, dan baru ingin memasarkan di sekitar teman-temanku. Meski, suatu saat akan aku seriusi,” pungkasnya.