Siomay Aisha
Memitrakan camilan tradisional Indonesia, seperti siomay, merupakan masalah gampang. Tapi, membuat usaha mitra bisa berkembang sesuai dengan yang diharapkan pemilik usaha itu perkara yang lain lagi. Karena itu, dari awal menawarkan kemitraan Siomay Aisha, Rinda menegaskan bahwa sukses tidaknya mitra tergantung pada mitra itu sendiri
[su_pullquote align=”right”]Usaha ini sangat tergantung pada mental wirausahawan, yang notabene masih sering turun naik. Karena itu, Siomay Aisha selalu membuka diri untuk mereka ajak diskusi[/su_pullquote]
e-preneur.co. Sebagian besar Ibu Rumah Tangga zaman sekarang, mengisi waktu senggang mereka dengan menciptakan usaha yang tidak membuat mereka harus meninggalkan rumah atau membuat urusan rumah tangga terbengkalai, tapi justru menambah pundi-pundi keuangan rumah tangga. Setidaknya, itulah yang dilakukan Rinda Kusumawinti, pemilik usaha Siomay Aisha.
“Awalnya, saya hanya ingin mempunyai usaha sendiri. Lalu, saya menciptakannya dengan membuat prototype-nya di sebuah toko swalayan, di dekat sekolah anak saya. Saat itu, sama sekali tidak terpikir jika nantinya akan saya mitrakan. Karena, saya cuma menjalankannya untuk mengisi waktu senggang. Alhamdulillah, respon dari masyarakat bagus dan banyak yang memesan untuk katering,” tutur Rinda, tentang usaha yang dibangunnya pada Maret 2011 itu.
Ya. Setahun setelah usaha ini dijalankan, Rinda membuka kemitraan. “Pada awalnya, saya berjualan di beberapa titik. Dalam perjalanannya, saya susah ngontrol dan mencari SDM (Sumber Daya Manusia). Agar usaha saya bisa berkembang, saya pun mencari partner dengan menawarkan kemitraan. Sekarang, saya sudah mempunyai 130 mitra di mana 95–100 di antaranya mitra aktif,” tambah perempuan, yang mitra-mitranyanya tersebar di Jabodetabek, Surabaya, Malang, Tegal, Lampung, dan Yogyakarta ini.
Siomay Aisha menawarkan dua tipe kemitraan yaitu tipe mini dengan nilai kemitraan Rp4,5 juta dan tipe maksi dengan nilai kemitraan Rp6 juta. Perbedaan antara keduanya, jika tipe mini hanya menyediakan satu menu yaitu siomay saja, maka tipe maksi menyediakan tiga menu sekaligus (siomay, batagor, dan bakso cuankie atau siomay berkuah bakso) plus dua kuah yaitu kuah kacang dan kuah baso.
Di samping itu, ukuran gerobaknya pun berbeda. Jika kemitraan mini, gerobaknya berukuran 80 cm x 80 cm, maka kemitraan maksi memiliki gerobak berukuran 180 cm x 80 cm x 180 cm. Dari sisi displaymenu juga berbeda. Mengingat, ukuran gerobaknya kecil, maka perabotan yang ada pada tipe mini juga terbatas.Sedangkan untuk yang tipe besar akan terlihat jelas display menu-menunya.
Dengan nilai kemitraan Rp4,5 juta dan Rp6 juta, mitra mendapatkan booth, perabotan, bahan baku, tabung gas, kompor, dan training untuk penyajian. “Di sini tidak ada fee-fee yang lain. Kami mengusung sistem yang kami buat sendiri yang notabene belum secanggih franchise,” ungkap sarjana teknik informatika dari STT Telkom Bandung ini.
Untuk bahan baku, mitra mendapat sebanyak 150 buah atau untuk satu hari penjualan. Jika bahan baku sudah habis, mereka bisa membeli lagi dengan harga Rp900,-/buah tanpa minimal pembelian. Dan, untuk lebih memudahkan pembelian, bagi mitra yang ingin diantar produknya tinggal menambahi ongkos kirim.
Sebenarnya, Siomay Aisha, kelahiran Surabaya, 1 Februari 1978 ini melanjutkan, lebih mirip siomay Bandung yang biasa disebut baso tahu. “Jadi, siomay kami tidak memiliki bentuk cantik seperti siomay pada umumnya, tapi hanya berbentuk bulat seperti bakso,” katanya. Di samping itu, dalam penjualannya, jika penjual siomay pada umumnya hanya menjual siomay kukus saja, maka dalam satu gerobak Siomay Aisha tersedia tiga menu seperti tersebut di atas.
Dulu, Rinda menjual siomaynya dengan harga Rp6 ribu/porsi (1 porsi isi 5). Sekarang, dia menjualnya dengan harga Rp10 ribu/porsi (1 porsi isi 5). Hal ini, dimaksudkan agar mitra-mitranya bisa menjualnya dengan harga Rp2 ribu/buah.Lantaran, konsumen tidak selalu membeli satu porsi, tapi kadang tujuh atau 10 buah. Bahkan, untuk anak-anak hanya membeli tiga buah.
Dalam sehari,dulu, perempuan yang membangun usahanya dengan modal awal Rp3 juta ini, bisa menjual produknya 100–200 buah. Karena itu, sekarang, ia menargetkan para mitranyaagar bisa menjual 150 buah/hari. “Tapi, tidak selalu tercapai.Sebab, sangat tergantung pada lokasi mereka berjualan dan SDM. Sehingga, rata-rata penjualan 100–125 buah/outlet,” ucapnya.
Dengan demikian, dalam sehari,outlet-outlet mitra membukukan omset Rp200 ribu–Rp300 ribu.“Dengan nilai kemitraan Rp4,5 juta, kalau per hari laku Rp200 ribu, maka per bulan mereka bisa membukukan omset Rp6 juta, masuk akallah itu. Kalau pun dipotong untuk yang lain-lain, maka mitra masih bisa memperoleh omset bersih Rp1 juta–Rp1,5 juta,” jelasnya.
Sementara, sebagai pemilik usaha dan produsen, Rinda dengan dibantu para karyawannya mampu berproduksi rata-rata 5.000–7.000 buah per hari.Bahkan, kalau sedang ramai permintaan bisa mencapai 10.000 buah atau membukukan omset Rp5 juta.
Namun, ternyata, dengan omset sebesar itu, tidak berarti mitra akan langsung balik modal. Mereka baru bisa balik modal pada bulan kelima, bahkan setahun. Hal ini terjadi, sebab mereka masih terkendala pada lokasi dan SDM.
“Meski dapat dijalankan sendiri (tanpa SDM), tapi hal itu sangat tergantung pada mental wirausahawan yang notabene masih sering turun naik. Karena itu, setidaknya dibutuhkan satu karyawan yang membantu atau menggantikannya jika yang bersangkutan sedang ada keperluan lain. Sementara SDM itu sendiri, selalu keluar masuk. Mengingat, ini hanya sebuah usaha kecil yang organisasinya belum solid.Sehingga, SDM sering tidak betah hanya menunggu pembeli,” ujarnya.
Lokasi juga berpengaruh.Mitra yang berlokasi di tempat yang ramai bisa segera balik modal.Bahkan, yang sangat bersemangat dengan menawarkan door to door untuk katering, dalam tempo tiga bulan sudah balik modal.
“Tapi, pada dasarnya, para mitra yang cepat balik modal adalah mereka yang sering bertanya tentang kendala apa pun yang mereka hadapi. Di sisi lain, saya selalu membuka diri untuk mereka ajak berdiskusi,” imbuhnya.
Prospeknya? “Mengapa saya memilih siomay?Karena, pertama, siomay merupakan makanan tradisional Indonesia yang hampir semua orang pernah merasakannya. Kedua, edukasi ke masyarakat tidak sulit. Ketiga, selain dapat dijual dengan konsep grobakan, juga dapat dijual melalui katering dengan bekerja sama dengan berbagai usaha katering atau warung makan. Artinya, secara prospek marketnya luas, masih akan ada terus,” bebernya.
Bahkan, saat ini, Rinda yang membangun usahanya di kediamannya yang terletak di kawasan Pondok Kirana Asri, Depok, mengembangkan usahanya dalam bentuk warung tongkrongan dalam sebuah kios mungil. Di sini, bukan hanya tersedia menu Siomay Aisha, tapi juga makanan dan minuman lain yang sejalan dengan siomay dan disukai masyarakat.
“Meski baru seumur jagung kami mendirikannya, Alhamdulillah responnya bagus,” pungkas Rinda, yang juga mengeluarkan produk dalam bentuk frozen, termasuk bumbunya, dan menargetkan membukukan 200 mitradi tahun 2014.