Es Lilin Bandung
Es lilin Bandung dikenal sebagai makanan zaman baheula. Meski begitu, ia mampu bersaing dengan es moderen (es krim). Terbukti, dari banyaknya permintaan, baik perseorangan maupun untuk berbagai event
[su_pullquote align=”right”]Prospek bisnisnya menjanjikan. Karena, banyak peminatnya dan belum mempunyai pesaing[/su_pullquote]e-preneur.co. Tahukah Anda, jika es lilin itu konsep awal pembuatannya dari Bandung? Sehingga, di mana pun Anda menyantap makanan berbentuk bulat lonjong dengan pegangan berupa stick kayu ini, maka orang tetap akan menyebutnya es lilin Bandung.
Es lilin Bandung selalu mengingatkan kita, ketika masih mengenakan seragam merah putih. Kala itu, makanan berasa dingin ini, dijual secara berkeliling dengan menggunakan gerobak yang didorong ke sana kemari.
Sayang, kini, makanan ini sudah mulai jarang kita temui. Imbasnya, anak-anak zaman sekarang menjadi lebih akrab dengan es krim.
Namun, pada tahun 2002, Permana, pengusaha dari Bandung, memunculkan kembali es lilin khas Tanah Parahyangan ini. Es yang dibuat dengan mesin khusus, tanpa susu, dan bahan pengawet itu, saat ini tidak lagi didorong-dorong, tapi dijual di berbagai toko, tempat makan, bahkan di sebuah supermarket besar.
Bukan cuma itu, es yang diberi merek Aneka Rasa itu memiliki 19 rasa buah asli plus potongan-potongan kecil buah di dalamnya. Misalnya, es lilin rasa stroberi, maka di dalamnya terdapat potongan-potongan buah stroberi.
Setiap hari, melalui home industry sekaligus tokonya yang terletak di Jalan Lengkong Besar, Bandung, diproduksi 4.000–5.000 potong. “Untuk memenuhi titik-titik distribusi di Jakarta, saya dipasok 10.000 potong/bulan. Selanjutnya, saya menyebarkannya ke Bogor, Cikarang, Bekasi, Tangerang, Tebet, serta beberapa perguruan tinggi dan restoran,” tutur Lioe Jansen, distributor es lilin Bandung untuk Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) ini.
Dalam pendistribusiannya, pria yang masih bagian dari Keluarga Permana ini menjalankan konsep win-win solution. Dalam arti, jika calon sub distributor tidak memiliki freezer, maka Lioe akan menyediakannya. Selain itu, dalam kerja sama ini juga terdapat money back guarantee setelah 2,5 bulan kerja sama berlangsung dan diskon khusus sebesar 30%–35%. Sub distributor juga akan dilengkapi dengan banner dan nomor telpon yang dapat dihubungi.
“Contoh, seorang sub distributor memesan 500 potong es lilin Bandung (dengan diskon khusus sebesar 30%–35%) yang dibayarkan tunai. Lantas, uang diskon tersebut saya simpan.Karena, nantinya, akan digunakan sebagai money back guarantee,” jelas Lioe, yang kini telah memiliki 15–20 sub distributor dan rata-rata memasok 450 potong es lilin Bandung ke mereka.
Dua setengah bulan kemudian, sang sub distributor akan memilih meneruskan kerja sama itu atau tidak. Jika kerja sama berlanjut, maka money back guarantee akan hangus. “Bila, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kerja sama, maka berapa potong es lilin Bandung yang laku akan dihitung dan uangnya dikembalikan ke yang bersangkutan,” lanjutnya.
Sampai sejauh ini, pria yang menjadi distributor es lilin Bandung sejak tahun 2007 ini melanjutkan, belum pernah ada sub distributornya yang mengembalikan es lilin yang mampu bertahan hingga enam bulan dalam freezer bersuhu –2°C atau 2–3 jam dalam suhu kamar ini.
“Jadi, bila dilihat dari prospeknya terbilang bagus. Apalagi, saya juga menerima pesanan untuk berbagai event, seperti gathering, ulang tahun, pesta perkawinan, dan lain-lain. Lebih daripada itu, es lilin Bandung belum memiliki pesaing. Sebab, yang banyak beredar di masyarakat itu bukan es lilin, melainkan ice cream stick atau es potong,” ujar kelahiran Jakarta, 29 Desember 1981 ini.
Namun, tidak berarti bisnis es lilin Bandung ini berjalan dengan mulus. Di samping masih dijalankan secara tradisional, mahalnya harga mesin pencetak es lilin dan keterbatasan daya tampung cetakan, membuat kapasitas produksinya pun terbatas.
Di samping itu, es lilin Bandung tidak mungkin diproduksi di Jakarta, misalnya. Karena, rasa air yang berbeda akan menghasilkan es lilin Bandung yang berbeda pula rasanya. Selain itu, harga buah yang lebih mahal akan berimbas pada membengkaknya biaya produksi.
Tapi, tidak berarti kendala-kendala ini akan membuat bisnis keluarga ini berjalan di tempat. “Kami akan melebarkan titik-titik distribusi, serta membuka outlet dan membuat website agar konsumen dapat membeli/memesannya secara online,” pungkassarjana ekononomi dari Sekolah Tinggi Institut Bisnis dan Informatika Indonesia, Jakarta, ini. Makanan tradisional memang tidak seharusnya dijalankan secara tradisional juga, bukan?