Home / Celah / Bahan Pangan Dunia Nomor Lima yang Belum Dilirik

Bahan Pangan Dunia Nomor Lima yang Belum Dilirik

Hermada

Sampai sejauh ini, Hermada (sorgum) tetap dianggap sebagai pakan ternak.Sama halnya, dengan bulgur. Padahal, dari akar hingga biji, dapat dimanfaatkan. Sehingga, ia ditempatkan sebagai bahan pangan dunia nomor lima setelah gandum, padi, jagung dan barley

[su_pullquote align=”right”]Dari bawah sampai ke atas, Hermada dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya[/su_pullquote]

e-preneur.co. Hermada merupakan tanaman rumput-rumputan atau berasal dari keluarga, yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah grass. Dengan demikan, Hermada memiliki “kekerabatan” dengan padi, tebu, jagung, ilalang, sejenis sorgum, dan sebagainya.

Hermada merupakan kependekan dari Harapan Masa Depan. Pemberian nama tanaman perdu yang bernama Latin sorgum bicolor ini, mengandung pengertian bahwa setiap bagian tanaman ini memiliki manfaat.

hermada-1

Hasil pelatihan dan penelitian selama berbulan-bulan pada tahun 1999, yang diikuti Rindartati Soedilmulyo menunjukkan bahwa biji tanaman yang semula hanya digunakan sebagai pakan ternak ini, ternyata memiliki serat yang tinggi. Sehingga, hasil olahannya bagus untuk dikonsumsi para penderita diabetes dan kolesterol, serta meningkatkan nafsu makan anak-anak balita (bawah lima tahun) yang susah makan. Selain itu, juga dapat diolah sebagai makanan tambahan pendamping ASI (Air Susu Ibu) bagi Ibu-ibu yang sedang menyusui. Karena, mengandung karbohidrat dan protein yang tinggi.

Tangkainya dapat digunakan untuk membuat kerajinan tangan dan sapu dengan kualitas ekspor. Daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak. Sehingga, meningkatkan produksi peternakan, terutama hewan potong. Batangnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar (etanol) dan bahan pembuat bubur kertas (pulp). Sedangkan akarnya dapat diolah menjadi minuman kesehatan. “Dengan demikian, dari bawah sampai ke atas, Hermada dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya,” kata Rien, begitu ia disapa.

Lalu, mengapa baru sekarang pemerintah menjadikan Hermada sebagai bahan pokok dasar pengganti dan pendamping beras dan terigu? “Mungkin, lantaran dulu masyarakat menyamakan tanaman yang juga dikenal dengan istilah sorgun ini dengan bulgur. Sedangkan bulgur identik dengan pakan ternak alias makanan murahan. Karena itulah, saya berusaha menunjukkan bahwa sorgum memiliki banyak kelebihan, dengan menjalin kerja sama dengan departemen pertanian/deptan (sekarang: kementerian pertanian, red.), IPB (Institut Pertanian Bogor), dan BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional),” jelas kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, itu.

olahan sorgum-3Hermada, ia melanjutkan, dulu pernah ditanam di Indonesia, tapi hanya untuk diambil tangkainya, sedangkan bijinya digunakan sebagai pakan ternak. Sehingga, masyarakat pun berpikir bahwa tanaman yang di Jawa dikenal dengan istilah cantel atau gondem ini, makanan murahan yang tidak ada artinya. “Sebab itulah, saya ingin mengangkat pamornya sebagai bahan pengganti terigu, dengan mengolahnya menjadi bahan dasar kue,” kata pemegang penghargaan UKM Pangan Award 2008 ini.

Sekadar informasi, pada tahun 1995, saat masih bekerja sebagai sekretaris direktur pada sebuah perusahaan Jepang, Rien pernah ditugaskan untuk mendatangkan gandum dari New Zealand, untuk sebuah perusahaan tepung ternama. Karena kuatir pengiriman gandum akan terputus sewaktu-waktu, maka ia mencari penggantinya.

“Tahun 1997, saya “bertemu’ dengan Hermada yang saat itu hanya dikenal dengan istilah grass. Dibandingkan dengan gandum yang cuma memiliki kelebihan mengandung gluten (zat perekat), sorgum memiliki banyak kelebihan lain. Sehingga, sangat baik bila digunakan sebagi pengganti terigu. Sedangkan untuk mengganti kelengketannya, dapat ditambahkan sedikit ubi, singkong, pisang, atau labu,” ungkap sarjana ilmu adminitrasi negara dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, ini.

Selama ini, ia menambahkan, kita menanam Hermada berbiji hitam yang nenek moyangnya berasal dari Jepang dan Hermada berbiji merah yang berasal dari Amerika Serikat (AS). Tidak ada perbedaan yang signifikan antar keduanya, kecuali Hermada AS memiliki tangkai lebih panjang daripada Hermada Jepang dan biji Hermada AS berbentuk kecil pipih sedangkan Hermada Jepang memiliki biji berbentuk bulat gemuk.

“Untuk kualitas AB, harga tangkainya waktu itu mencapai Rp4 ribu/kg kering, sedangkan setelah diolah menjadi sapu impor dapat dijual dengan harga AS$8–AS$10/buah, sebagai pengganti beras Rp5 ribu/kg, sebagai pengganti terigu Rp9 ribu/kg, sapu lokal Rp25 ribu/buah, kemoceng Rp40 ribu/buah, cookies berkisar Rp10 ribu –Rp15 ribu,” ucap Rien, yang juga menjual biji kering. Sedangkan harga benih Hermada Rp25 ribu/kg.

Pada dasarnya, Rien melanjutkan, benih Hermada gampang ditanam dan sekali tanam dapat dipanen hingga tiga kali. Sorgum, dibandingkan beras, juga relatif tidak memerlukan syarat tumbuh yang rewel. Tanaman ini memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi untuk tumbuh di lahan-lahan marjinal, seperti lahan kering, lahan kosong yang kurang subur, dan lahan nonproduktif lainnya. Keunggulan lain, bahan pangan dunia nomor lima setelah gandum, padi, jagung dan barley ini, juga dapat ditanam dengan sistem ratun yang memerlukan sedikit tenaga kerja.

Namun, karena para petani pernah terkecoh ulah para tengkulak, maka mereka berhenti menanamnya hingga pemerintah ikut campur tangan dengan membawa B100. Benih sorgum ini merupakan hasil penelitian BATAN yang dianggap lebih mudah ditanam oleh para petani. “Sebab, mempunyai ketahanan alam yang cukup,” jelas perempuan, yang membangun bisnis berbasis Hermada ini pada tahun 1997.

olahan sorgum-1

Lantas, para petani Demak pun menanamnya. Sayang, pemasarannya masih tersendat. Hal ini, terjadi karena masyarakat Indonesia sampai sejauh ini, masih beranggapan beras merupakan makanan nomor satu dan mereka belum mau mengonsumsi Hermada. Di samping itu, masyarakat juga belum mengetahui jika Hermada dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal.

“Lebih dari itu semua yaitu ketidaktahuan petani tentang sorgum dari bagaimana proses menanamnya hingga bagaimana pengolahannya paska panen. Seperti, yang pernah terjadi pada tahun 2006–2007. Saat itu, deptan mengajak para petani Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menanam sorgum dan terjadilah panen raya. Kala itu, mereka hanya sebatas bisa menanam.Sekarang, mereka juga sudah mengonsumsinya, tapi tetap belum mampu mengolahnya,” katanya.

Ya. Pengolahan Hermada memang susah, karena bijinya kecil dan keras.Sehingga, harus ditumbuk dahulu hingga menjadi menir. “Bahkan, Hermada hasil olahan saya, harus dipasarkan melalui berbagai pameran dan kerja sama dengan berbagai kementerian. Selanjutnya, dipasarkan ke Eropa, baik dalam bentuk siap saji maupun bijinya,” ucap Rien, yang pernah menggelar sebagian produknya di lantai basement Jakarta UKM Center, Jakarta Pusat. Selain itu, juga di kediamannya di Duren Sawit, Jakarta Timur.

Imbasnya, pemasukan per bulan tetap belum sesuai dengan keinginan. “Saya yakin jika para petani sorgum sudah sukses, maka usaha saya ini akan ikut sukses. Sebab, merekalah yang memiliki lahan dan skill, sedangkan saya hanya bergerak di hasil akhir,” katanya, merendah. Jadi, yuk menanam Hermada

Check Also

Banyak Peminatnya

Rental Portable Toilet Kehadiran toilet umum—terutama yang bersih, nyaman, wangi, dan sehat—menjadi salah satu kebutuhan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *