Pondok Boy
Bisnis makanan tidak akan dimakan zaman. Karena, setiap orang butuh makan. Meski begitu, untuk bisa terus bertahan harus terus bersiasat. Ocky dengan Pondok Boy-nya bukan cuma mengusung satu atau dua strategi, melainkan “trilyunan” sambil memantapkan brand bahwa tempat makan 24 jam di Balikpapan adalah Pondok Boy
[su_pullquote align=”right”]Mereka yang datang, bukan sekadar untuk makan, melainkan karena menyukai konsep yang disuguhkan Pondok Boy[/su_pullquote]e-preneur.co. Anda tentu pernah merasa lapar di larut malam. Padahal, makanan sudah habis atau Anda sedang malas memasak lagi. Lalu, Anda memutuskan untuk keluar rumah mencari tempat makan. Tapi, ternyata, tempat makan yang buka 24 jam dan bersuasana cozy seperti yang Anda inginkan, tidak ada.
Hal semacam itulah, yang sering dialami Ocky Boy Darwis di mana hingga tahun 2010 di Balikpapan, tempat makan seperti tersebut di atas belum ada. Lama-kelamaan, pria yang biasa disapa Ocky ini, menganggap kondisi yang tidak menyenangkan itu sebagai peluang bisnis yang menjanjikan. Dan, ia pun “melahirkan” Pondok Boy di Karang Rejo, sebuah kelurahan di Balikpapan Tengah, Balikpapan.
Lokasi yang kurang strategis dan representatif, membuat usaha ini gagal dan ia harus menanggung hutang dalam jumlah yang sangat banyak. Tapi, Ocky tidak putus asa. Ia membangkitkan lagi Pondok Boy dalam bentuk rombong. Namun, baru tiga hari berjualan, ia diusir. Padahal, ia sudah merekrut karyawan.
Sekali lagi, Bapak dari dua jagoan cilik ini tidak patah arang. Seminggu setelah itu, ia mencari tempat baru dan menemukan sebuah rumah tua yang tidak terawat, tapi berada di kawasan Jalan ARS Muhammad yang strategis.
“Pemiliknya mengatakan kepada saya agar hati-hati dalam berjualan di tempatnya. Sebab, tujuh penyewa sebelumnya hanya mampu mempertahankan usaha mereka kurang dari tujuh bulan dan akhirnya pindah. Tapi, saya tidak surut. Saya tetap ingin mencobanya. Dan, ternyata, pada bulan keenam, Pondok Boy sangat ramai pengunjungnya,” kisah kelahiran Balikpapan, 5 Agustus 1980 ini.
Dari situ, Ocky menarik pelajaran bahwa para penyewa sebelumnya gagal karena tidak mempunyai strategi marketing. “Rumah tua yang tidak terawat itu, saya dandani, saya cat, saya pasangi banner, dan saya buat pencahayaan yang bagus untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat. Dan, ternyata, ketika pada akhirnya mereka mau datang, bukan sekadar untuk makan melainkan karena menyukai konsep yang disuguhkan Pondok Boy, sebuah konsep moderen yang tidak meninggalkan unsur-unsur tradisional,” lanjut sarjana komunikasi dari Sekolah Tinggi Informatika dan Komputer Indonesia, Malang, ini, yang juga mengaitkan konsep interior dan eksterior yang diusung tempat makannya dengan segmen yang dituju yaitu semua kalangan.
Kini, Pondok Boy yang berlokasi di bekas gedung bioskop Gelora, tidak jauh dari lokasi sebelumnya, memang hanya dihias secara simple, tata cahaya yang bagus, suasana yang nyaman, tidak berisik sekali pun sebagian besar konsumennya merupakan anak-anak muda, dan menghangatkan suasana dengan mengusung live music yang digabungkan parodi, serta di sana-sini terdapat berbagai papan nama yang ditulisi dengan kalimat-kalimat unik dan lucu baik dari berbagai daerah maupun bangsa. Dan, ternyata, tulisan-tulisan itu bukan sekadar hiasan, melainkan sangat membantu marketing Pondok Boy.
Selain itu, Pondok Boy juga menggunakan nama-nama yang tidak biasa untuk menunya, misalnya ayam broiler diganti menjadi ayam kota, ayam kampung diganti menjadi ayam ndeso. Untuk harganya, Pondok Boy mengganti istilah harga ribuan menjadi trilyunan. Contoh, untuk menu andalannya yaitu Kepiting Bakar Jontor (= kepiting bakar dengan bumbu mirip sambal terasi, red.) dihargai Rp35 trilyun (= Rp35 ribu, red.) dan Nasi KareBoy yang mirip nasi lemak dihargai Rp15 trilyun. Sedangkan untuk minum andalannya yaitu Es GeBoy atau es buah dipatok dengan harga Rp13 trilyun dan Saraba yaitu semacam wedang jahe ala Makassar dengan harga Rp10 trilyun.
Namun, layaknya bisnis, Pondok Boy yang dikenal sebagai warung gaul atau tempat nongkrong yang buka 24 jam pun tidak luput dari masalah. “Kendala terbesar ada pada sumber daya manusia dan budaya masyarakat Balikpapan yang membuatnya seperti itu. Dalam arti, hampir 90% penduduk asli Balikpapan yang pernah bekerja di Pondok Boy, tidak mampu bertahan lebih dari dua bulan. Untuk mengatasinya, Pondok Boy mempekerjakan orang-orang Jawa perantauan,” ungkap Ocky, yang membawahi 31 karyawan yang dibagi dalam dua shift.
Sekarang, ia melanjutkan, Pondok Boy tinggal mempertahankan dan mengembangkan diri. “Pertama, saya ingin memperluas bangunan Pondok Boy. Karena, masih banyak tamu yang tidak bisa masuk. Sekadar informasi, pada hari-hari biasa, Pondok Boy dikunjungi 600 orang dan pada akhir pekan mencapai 1.000 orang. Padahal, kapasitas kursi hanya untuk 200 orang. Karena itu, saya akan menambahnya menjadi 400 kursi,” katanya.
Kedua, memperlebar pasar dan brand dengan membuka cabang di Samarinda dan Balikpapan. Selanjutnya, merambah Jawa. “Saya menargetkan dalam lima tahun ke depan akan membuka 10 cabang Pondok Boy, yang semuanya milik saya sendiri. Cabang-cabang ini menekankan pada fasilitas pesan–antar. Saat ini, Pondok Boy telah memiliki empat unit sepeda motor untuk delivery. Terakhir, saya ingin mencitrakan: belum ke Balikpapan kalau belum merasakan Kepiting Bakar Jontor dan Nasi KareBoy Pondok Boy,” ujarnya.
Di samping itu, ia menambahkan, Pondok Boy juga menyediakan Kepiting Bakar Jontor dalam bentuk oleh-oleh. Untuk itu, sejak tahun 2013, Pondok Boy menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan kurir nasional.
Prospeknya? “Sangat bagus. Karena, daya beli masyarakat Balikpapan tinggi sekali. Secara umum, adanya perubahan gaya hidup menyebabkan orang-orang zaman sekarang ingin hidup serba instan, termasuk dalam makan. Dalam arti, mereka malas masak dan memilih untuk membeli masakan matang atau makan di tempat,” pungkasnya.