Jamaluddin
Direktur CV Tika Utama
Adakalanya, menjadi pengusaha disebabkan oleh “kecelakaan”. Hal ini pula, yang terjadi pada Jamaluddin. Tapi, ia tidak melakukannya dengan tangan kosong, melainkan berbekal ilmu ngeyel yang ditimbanya dari tempatnya bekerja sebelumnya. Kini, melalui CV Tika Utama, perusahaan yang dimulai dari garasi dan bermodalkan pinjaman mertua, ia tinggal memetik hasil dan mengembangkannya.
[su_pullquote align=”right”]Meski setiap usaha yang dijalani tidak selalu nyangkut, tapi harus tetap ditelateni [/su_pullquote]
e-preneur.co. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Ungkapan ini, sangat pas disandang Jamaluddin. Sebab, ia tidak berputus asa, meski ijazahnya atau lebih tepatnya keinginanya menjadi karyawan ditolak hampir semua perusahaan.
Masalahnya, bukan karena nilainya di ijazah itu kurang memenuhi standar kelayakan menjadi karyawan, melainkan karena para pemilik perusahaan beranggapan bahwa sebagai alumnus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, ia lebih pantas menjadi tenaga pengajar.
Namun, nasib baik belum sepenuhnya meninggalkan kelahiran Kudus, 13 Agustus 1966 ini. Akhirnya, ia diterima sebagai karyawan perusahaan asuransi. Tiga bulan kemudian, ia pindah ke sebuah biro perjalanan haji dan umroh. Sama halnya dengan pekerjaan sebelumnya, di sini ia juga ditarget untuk memperoleh klien.
Suatu ketika di tahun 1990, terjadi Perang Teluk. Imbasnya, pekerjaannya pun ikut tersendat-sendat. Tapi, akhirnya, ia mampu mengumpulkan 20 calon jamaah yang tidak gentar dengan kondisi perang yang dipicu oleh invasi Irak atas Kuwait itu.
Namun, ia tetap merasa ada yang mengganjal.Sebab, di satu sisi bisnis perjalanan haji dan umroh hanya bersifat berkala. Sehingga, banyak waktu yang kosong. Sementara di sisi lain, sebagai orang muda, semangatnya masih menyala-nyala dan ingin mencapai karir yang lebih tinggi lagi.
Pekerjaan di biro perjalanan haji dan umroh pun dituntaskannya selama setahun. Kemudian, ia melompat ke bisnis periklanan.
“Di sini, saya tidak mempertimbangkan berapa perusahaan akan membayar saya, tapi lebih pada keinginan untuk menimba ilmu dan memberikan sebanyak atau sebesar mungkin sumbangan ke tempat saya bekerja,” kata Jamal, begitu ia akrab disapa.
Setelah masa menimba ilmu dirasanya cukup, Jamal ingin berpindah kuadran dari karyawan menjadi pemilik usaha (wirausahawan).Pada April 1993, ia mendirikan CV Tika Utama di kawasan Asem Baris, Tebet, Jakarta Selatan.
Perusahaan yang bergerak dalam jasa pemasangan iklan (advertising agency) ini, dibangun dengan modal Rp5 juta yang dipinjamnya dari sang mertua, dengan janji akan dikembalikannya dalam tempo setahun. “Uang itu, saya gunakan untuk mengurus surat izin usaha dan modal kerja. Sementara pekerjaan saya sehari-hari yaitu membaca iklan mini di sebuah harian nasional,” kisahnya.
Menurut hasil pengamatannya, showroom mobil selalu memasang iklan. Terpikir olehnya, showroom-showroom mobil itu membutuhkan agen iklan. Lalu, didatanginya mereka satu persatu. Dan, ternyata, mereka memang membutuhkan agen iklan, tapi mereka telah memiliki agen iklan sendiri.
“Lantas, dengan pricing strategy, saya menawarkan harga miring. Misalnya, jika agen langganan mereka pasang harga Rp30 ribu untuk iklan dua baris, maka saya menawarkan harga Rp28 ribu dan kepastian terbit, serta boleh dibayar di belakang. Karena itulah, saya membutuhkan modal kerja yang fungsinya untuk menalangi pembayaran klien,” tuturnya.
Usaha yang dijalankan di garasi sang mertua yang berukuran 3 m²−4,5 m² dan secara one man show itu meraup omset Rp3 juta−Rp4 juta per bulan. Dan, setahun kemudian, utang kepada sang mertua pun berhasil dilunasinya.
Untuk mengembangkan usaha, ia membutuhkan pinjaman lagi. Tapi, karena merasa tidak memiliki agunan, ia tidak berani berutang ke bank dan memutuskan untuk meminjam dari teman istrinya yang menikah dengan pria Jepang. Ia pun menerima pinjama sebesar Rp200 juta dalam bentuk dolar.
Dengan uang pinjaman itu, ia mengembangkan usaha.Seperti merekrut seorang karyawan, beralih dari iklan baris ke iklan kolom, dan menawarkan diri dengan mengirimkan brosur melalui pos ke berbagai perusahaan.
“Untuk mencetak dan mengirimkan 10 ribu brosur ke berbagai tempat, saya menghabiskan dana Rp10 juta. Sementara tingkat keberhasilannya, 6% atau 600 klien. Jika masing-masing klien menghasilkan pemasukan Rp500 ribu, maka total omset saya Rp300 juta/tahun,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mendatangi semua perkantoran dan menyambangi setiap lantainya untuk menitipkan brosur ke resepsionis, sambil menanyakan siapa HRD (Human Resources Development)-nya dan minta bertemu dengan mereka. “Meski, usaha ini tidak selalu ada yang nyangkut, tapi saya telateni selama dua tahun,” imbuhnya.
Di tahun 1994 itu pula, CV Tika Utama juga mulai “bermain” di bank. “Saya melihat bank selalu memasang iklan laporan keuangan setiap tiga bulan sekali. Jadi, kalau saya bisa mendapatkan iklan dari kalangan perbankan, maka selama setahun akan terjadi repeat order sebanyak empat kali. Kemudian, saya mendatangi bagian hubungan masyarakat atau keuangannya. Akhirnya, saya bisa menembus Bank Bukopin dan Bank Perniagaan,” katanya.
Suatu ketika, pihak Bank Bukopin yang berkunjung dibuat terkaget-kaget dengan kondisi CV Tika Utama yang hanya berkantorkan garasi, tapi kliennya banyak. Bahkan, beberapa di antaranya merupakan klien-klien besar. Sementara modalnya berasal dari pinjaman teman, lantaran tidak memiliki agunan. “Agunan itu urusan kedua. Yang terpenting yaitu aktivitas perusahaan,” ucapnya, menirukan perkataan pihak Bank Bukopin kala itu.
Lalu, pihak Bank Bukopin menghubungkannya dengan Departemen Koperasi dan UKM yang langsung memberinya green light sebagai pihak yang layak dibantu. Pada tahun 1997, keluarlah dana pinjaman sebesar Rp500 juta yang digunakannya untuk modal kerja, penambahan karyawan menjadi lima orang, dan mengontrak sebuah ruko (rumah toko) masih di lokasi yang sama dengan “kantor” sebelumnya.
Dengan modal pinjaman yang terbilang besar itu, sarjana S-2 dari Universitas Trianandra, Jakarta, ini pun leluasa mengembangkan usahanya dari yang semula hanya berkutat pada iklan menjadi pembuatan brosur, company profile, dan lain-lain dengan jangkauan wilayah yang awalnya hanya Jakarta menjadi seluruh Indonesia.
Sementara, media yang digunakan tidak cuma media-media kecil, tapi juga media yang menyasar masyarakat menengah atas.Bahkan, suatu ketika, perusahaan ini memperoleh klien kelas kakap yaitu Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh, senilai Rp50 juta. “Nilai itu bagi saya besar sekali. Karena, biasanya paling tinggi hanya Rp5 juta,” katanya, geli.
Bukan cuma itu, perusahaan yang pada tahun 2005 telah memiliki kantor sendiri ini mampu melunasi setiap pinjamannnya tepat waktu, serta masuk dalam 10 Besar Biro Iklan Terbaik tahun 2004 versi Harian Kompas, dan mendapat penghargaan Biro Iklan Terbaik Kategori Non Display Khusus tahun 2013 versi Harian Bisnis Indonesia. “Ke depannya, saya ingin lebih maju lagi,” ujar pria, yang perusahaannya pada tahun 2010 silam membukukan omset Rp91,2 milyar.