Christopher Emille Jayanata
(President Director PT Essicipta Lestari & PT Pronic Indonesia)
Terlahir dari latar belakang keluarga yang berkutat pada tanaman (pertanian), tidak membelokkan keinginan Emil untuk menekuni lanskap (arsitektur) dan consumer goods. Hasilnya, ia sama suksesnya dengan mereka, bahkan lebih
[su_pullquote align=”right”]Untuk menghadapi perubahan, harus terus mempertahankan kualitas dan reputasi, serta kepercayaan klien[/su_pullquote]
e-preneur.co. Lebih baik menjadi ikan kecil di kolam besar daripada menjadi ikan besar di kolam yang kecil. Maksudnya, dalam sebuah kolam besar yang dihuni oleh banyak ikan, baik yang berukuran kecil maupun besar, sebanyak apa pun makanan yang diberikan, mereka tetap harus berbagi. Untuk itu, hanya ikan-ikan yang gesit, meski berukuran kecil, yang akan mendapat bagian makanan tersebut. Sedangkan yang lengah, harus berpuasa.
Untuk mengatasinya,ikan-ikan lengah dan lemah iniharus mencari lubang atau tempat bersembunyi yang tidak banyak ikannya.Atau, bahkan, mungkin merekalah satu-satunya penghuni lubang itu. Sehingga, walau pasokan makanan yang mereka peroleh tidak besar,tapi hanya mereka yang menyantap makanan itu.
Dalam dunia bisnis, filsafat Cina klasik ini dikenal dengan istilah blue ocean alias area bisnis yang belum atau bahkan tidak ada pesaingnya. Wilayah bisnis inilah, yang diterjuni oleh Christopher Emille Jayanata, dengan membangun bisnis lanskap pada tahun 1992 atau saat masih duduk di bangku tingkat II Fakultas Teknik, Universitas Parahyangan, Bandung.
Pada tahun 1994, bisnis ini di-PT-kan dan diberi nama PT Essicipta Lestari. Emil, demikian ia biasa disapa, menjabat sebagai presiden direktur bisnis yang bergerak di bidang rancang bangun lanskap ini.
“Awalnya, ini upaya saya mencari uang untuk membiayai kuliah sampai lulus. Meski, selama tahun 1992−tahun 1995, saya harus bolak-balik Bandung (untuk kuliah dari Senin hingga Jumat)−Jakarta (dari Sabtu sampai Minggu untuk mengurusi proyek-proyek yang diterima). Di Bandung, saya juga menerima beberapa proyek, tapi tidak sebanyak di Jakarta,” kata Emil, yang membangun bisnis ini bersama teman-temannya.Proyek-proyek besar yang pernah mereka tangani waktu itu yaitu Ciherang Glenn Side dan Gedung Sarana Jaya.
Dalam perjalanannya, setelah ia berhak menyandang gelar insinyur arsitektur pada tahun 1995, ia mulai fokus pada usaha ini. Bukan hanya dengan mengerjakan proyek yang semuanya berlokasi di Jakarta, melainkan juga “memasarkan” perusahaannya dengan mengikuti berbagai pameran, mendatangi para calon konsumen, menyebarkan selebaran, dan lain-lain.
“Secara pasti, saya tidak tahu mengapa terjun ke bisnis lanskap. Pada satu sisi, saya berasal dari keluarga berlatar belakang pertamanan (pertanian). Pada sisi yang lain, lulusan arsitektur biasanya berkutat pada urusan bangunan/interior. Sangat jarang yang memilih lanskap. Nah, kalau menjadi landscaper, saya dapat bekerja sama dengan mereka. Mereka mengerjakan bangunan/interiornya dan saya mengerjakan tamannya,” jelas pria, yang hobi menggambar ini.
Saat itu, ia menambahkan, lanskap merupakan bisnis yang masih sedikit pesaingnya. Sehingga, PT Essicipta Lestari tidak cuma menangkap satu segmen. “Siapa pun yang ingin dibuatkan lanskap ya kami buatkan,” ujarnya. Tarifnya beragam pula, tergantung dari berapa banyak material yang dibutuhkan dan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli material tersebut.Sehingga, desain yang telah mereka rancang dapat diwujudkan/dibangun.
“Dulu, rata-rata tarif untuk lanskap sebesar Rp20 ribu−Rp30 ribu per meter persegi. Kami pernah membuat lanskap seluas 1.200 m² di Limo, Cinere. Lalu, meningkat menjadi rata-rata Rp50 ribu−Rp500 ribu permeter persegi. Untuk perumahan, kami biasanya mengerjakan lanskap rata-rata seluas 100 m²−200 m², sedangkan untuk real estate seperti Rancamaya itu seluas 5 ha,” lanjut kelahiran Bogor, 42 tahun silam itu.
Dalam perkembangannya, gejolak politik dan ekonomi mewarnai pertumbuhan perusahaan yang berlokasi di Pos Pengumben, Jakarta Barat, ini. Pada tahun 1994−tahun 1997, PT Essicipta Lestari mengalami masa keemasan. “Sebagai gambaran, satu proyek saja sudah dapat membelikan saya mobil, sedangkan satu proyek yang lain bisa membelikan saya rumah. Omset per bulan Rp40 juta−Rp50 juta atau setahun mencapai Rp600 juta,” ucapnya, tanpa bermaksud sombong.
Namun, ketika krisis moneter melanda, tidak satu proyek pun menghampiri perusahaan ini. PT Essicipta Lestari bertahan dengan satu proyek lama yang terus berjalan. Selain itu, dengan bunga bank tabungan perusahaan ini yang waktu itu sangat besar.Sehingga, dapat digunakan unutk menggaji orang-orang yang bekerja padanya, tanpa perlu adanya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
“Tahun 1998−tahun 2000, kami hanya bertahan. Proyek sekadar ada. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan lanskap lain yang menjadi pesaing kami dan bermunculan pada tahun 1996/1997, tumbang satu demi satu. Tahun 1998, mereka lenyap tak berbekas. Tahun 2000/2001, ekonomi Indonesia menggeliat dan beberapa perusahaan seperti kami yang masih eksis terkena imbasnya,” ungkapnya.
Tahun 2002 hingga sekarang, proyek-proyek mulai berdatangan lagi. Mulai tahun 2009, setiap bulan,perusahaan ini mengerjakan 8−10 proyek, dengan tarif minimal Rp200 juta−Rp300 juta. “Omset kami pun tumbuh, dari Rp500 juta/bulan pada tahun 1994−tahun 1998, lantas hanya Rp100 juta/bulan pada tahun 1998−tahun 2001, menjadi hampir Rp2 milyar/bulan pada tahun 2001−2008,” lanjutnya.
Kini, bisnis lanskap tidak lagi blue ocean, tetapi red ocean atau banyak pesaing. Menghadapi perubahan ini, yang harus dilakukan yaitu mempertahankan kualitas dan reputasi, serta kepercayaan klien. “Selama hampir 17 tahun, kami mempertahankan reputasi, misanya dengan tidak membanting harga demi memperoleh klien sebanyak-banyaknya. Hal ini, juga saya lakukan terhadap probio chicken, yang sampai saat ini masih di blue ocean,” ujar Emil, yang juga President Director PT Pronic Indonesia ini.
Sedangkan secara filosofis, dalam menghadapi kendala atau masalah dalam perusahaannya, Emil memilih berpegang teguh pada Tuhannya. “Ayah saya meninggal pada tahun 1989 dan tak seorang pun di keluarga saya yang bisa memahami jiwa saya. Sebab, meski sebagian besar keluarga besar saya juga enterpreneur, tapi jiwa saya lain. Apalagi, ketika saya menekuni consumer goods (probio chicken),” katanya, tanpa bermaksud mendeskreditkan.
Hal ini bisa dimaklumi, mengingat sebagian besar dari mereka berkecimpung di industri. “Saya juga tidak dapat bertanya pada Ibu dan Kakak saya, yang meski pun sarjana pertanian dari IPB (Institut Pertanian Bogor), tetapi mereka bukan entrepreneur,” tambahnya.
Selanjutnya, bungsu dari dua bersaudara ini membicarakan masalah yang terjadi dalam perusahaannya dengan tim kerjanya (konsolidasi ke dalam), di samping dengan teman-temannya. “Dalam doa, saya selalu mohon petunjuk pada Tuhan. Ketika saya berbicara dengan mereka dan memperoleh masukan, saya menganggap merekalah orang-orang yang ditunjuk Tuhan untuk membantu memecahkan masalah saya,” kata Bapak dua anak, yang setiap akhir pekan ke gereja bersama keluarganya.
Contoh, ia melanjutkan, saat PT Pronic Indonesia mengalami perkembangan pesat, tapi terbentur pada dana untuk menjalankan dan mengembangkannya lebih jauh. “September 2007−September 2008, angka penjualan kami meningkat tujuh kali lipat. Peningkatan ini, tentunya harus dibarengi pertambahan dana. Ini membingungkan. Lalu, seorang teman yang kebetulan shareholder membantu, meski belum mencukupi. Kemudian, ketika sedang membaca koran, saya membaca artikel tentang KUR (Kredit Usaha Rakyat). Saya pun mendapat pinjaman KUR ini dari sebuah bank. Tapi, sekarang, dana itu sudah tidak cukup lagi,” ucapnya, tertawa.
Masih ada waktu untuk diri sendiri? “Selalu ada waktu untuk diri sendiri dan anak-anak, seperti membaca, berenang, bermain dengan mereka, atau ke gereja. Selain itu, juga mengurusi yayasan yang mengurusi anak-anak asuh,” kata Emil, yang berencana meluncurkan produk olahan (sudah matang) probio chicken, yang dipasarkan secara keliling dengan kendaraan berkaki tiga.
“Ini sesuai dengan misi dan visi kami bahwa probio chicken bukan hanya dapat dinikmati kalangan atas, melainkan juga kalangan menengah dan menengah bawah,” pungkas Emil, yang pada tahun 2010 hingga saat ini menjadi Kordinator KOI (Komunitas Organik Indonesia).