Servietten
(Kerajinan Tangan dari Tisu Makan)
Tisu memang diproduksi sebagai pembersih (ngelap). Tapi, Adhika, Mia, dan Siana menyulapnya menjadi pernak-pernik cantik berharga selangit
[su_pullquote align=”right”]Kami berusaha membuat produk kami lebih baik dan lebih rapi daripada buatan para pelaku bisnis sejenis[/su_pullquote]
e-preneur.co. Tahukah Anda, bila tisu bukan hanya berfungsi untuk membersihkan? Terbukti, di tangan terampil tiga Ibu Rumah Tangga yaitu Elizabeth Mia Lukman (Mia), Siana Dinata (Siana), dan Adhikalap yang mirip kertas ini dapat berubah menjadi aneka pernak-pernik cantik pengisi rumah.Seperti tempat tisu, tempat kartu nama atau memo, nampan, tempat sampah kering, tempat pensil, talenan, dan sebagainya.
Tapi, tisu yang digunakan bukan sembarang tisu, melainkan tisu buatan Jerman.Demikian pula, dengan teknik pembuatannya.
“Teknik pembuatan hasta karya dengan media utama tisu ini berasal dari Jerman yaitu servietten. Sedangkan tisu yang digunakan merupakan produk Jerman.Karena, tisu ini bermotif, misalnya motif bunga, binatang, kartun, dan lain-lain. Sayangnya, di Indonesia, tisu semacam ini belum ada.Padahal, yang ditonjolkan justru motif-motifnya.Sehingga, kami pun menggunakan tisu buatan Jerman tersebut,” jelas Mia, mewakili rekan-rekannya. Dalam perkembangannya, tisu Jerman ini dapat dipesan by online.
Sebenarnya, ia melanjutkan, tisu semacam ini juga diproduksi oleh Amerika Serikat (AS), Australia, dan Jepang. “Tapi, yang buatan Jerman memberikan hasil yang lebih bagus, mudah menyatu dengan media yang ditempelinya sehingga tampak mirip dengan sablon atau lukisan, relatif tahan air, dan mudah dibersihkan yaitu cukup dilap dengan kain basah, serta memiliki motif yang lebih beragam,” tambahnya. Selain tisu buatan Jerman, mereka juga menggunakan lem buatan Belanda dan pernis produk AS.
Tisu berukuran 33 cm x 33 cm yang mirip kertas kado tapi jauh lebih tipis ini, terbagi menjadi tiga lapisan. “Yang bermotif terletak di lapisan atas. Sehingga, hanya bagian itu yang kami ambil. Dua lapisan di bawahnya yang kebetulan polos, kami kembalikan ke fungsi dasarnya. Sedangkan benda yang ditempeli, terbuat dari kayu MDV (sejenis kayu lokal mirip tripleks, red.) yang bentuknya kami desain sendiri,” katanya.
Hasilnya berupa 50 item pernak-pernik rumah tangga yang dilabeli Tangan. Bila konsumen berminat membeli atau memesan, dapat datang ke markas mereka di Jalan Yado, Radio Dalam, Jakarta Selatan, mengunjungi bazar yang diadakan oleh Yayasan Aussi (yayasan yang membawahi sekolah-sekolah Katholik perempuan, red.), atau Rebo-an di Citos (Cilandak Town Square).
Tapi, mereka tidak selalu dapat mengikuti bazar-bazar tersebut. Sebab, belum mampu berproduksi masal. “Kami belum memiliki karyawan. Sehingga, bila harus menerima pesanan dalam jumlah banyak, kami cukup mengkaryakan anggota keluarga kami sendiri. Di samping itu, kami merasa bahwa ini merupakan karya seni buatan tangan yang mementingkan kepuasan batin.Jadi, kalau harus berproduksi masal, semuanya itu akan menghilang. Saat ini pun, kami masih dalam taraf ingin berkreasi dan memamerkan kreasi kami,” kilahnya.
Namun, tidak berarti mereka tidak ingin memiliki toko sendiri atau menitipkan produk mereka yang telah merambah seluruh Jakarta, Yogyakarta, dan Malaysia (melalui buyer, red.) ke pihak-pihak lain. “Untuk sementara, kami ingin lebih aktif lagi mengikuti Rebo-an.Sebab, di sini, hasil penjualan kami meningkat dua kali lipat,” imbuhnya.
Kendala lain yang muncul yaitu tisu yang saat itu paling mahal seharga €5 per pak (€1 = Rp11.800,-, red.) ini, mengalami perubahan motif yang sangat cepat. “Sehingga, kami harus memesan terlebih dulu dan itu butuh waktu relatif lama. Bila pelanggan ingin memesan dengan motif tertentu, mau nggak mau harus menunggu dulu apakah pesanan yang dimaksud masih tersedia atau tidak,” ujarnya.
Sekadar informasi, Tangan dibuat dengan menggunakan tisu seharga €3,95−€4,3 per pak dan hanya memerlukan satu pak (1 pak = 20 lembar, red.). Untuk mengatasi kendala ini, jauh-jauh hari pelanggan harus sudah memesan.Sehingga, mereka pun bisa mengecek ketersediaan tisu di negara asalnya.
Kendala berikutnya, hasta karya ini sangat tergantung pada sinar matahari. Sebab, sinar sang surya mampu membuat produk ini benar-benar kering dan meninggalkan hasil tempelan yang bagus.
Tangan yang dimulai secara iseng pada tahun 2003 dan diseriusi setahun kemudian ini, dibangun dengan modal Rp6 juta. Seperti bisnis-bisnis lainnya, omset yang diterima selain dari penjualan, juga dari pesanan. Berbicara tentang pesanan, dalam sebulan Tangan menerima pesanan dari lima pelanggan yang masing-masing memesan minimal dua atau tiga produk. “Tapi, pada perayaan keagamaan, kami bisa mendapat pesanan hingga 50 produk,” Siana, menambahkan.
Apa sih istimewanya Tangan? “Kami tahu bahwa selain Tangan, ada beberapa pelaku bisnis sejenis. Kami juga mengenal mereka kok. Kami menyikapi keberadaan mereka dengan terus maju selangkah ke depan. Kami tidak bilang bahwa produk kami lebih bagus daripada hasil karya mereka. Tapi, setelah melihat produk mereka, kami berusaha membuat produk kami lebih baik dan lebih rapi daripada buatan mereka, mengombinasikan warna cat, mengombinasikan tisu yang satu dengan yang lain, serta menyelaraskan antara tisu dengan warna cat.Sehingga, nilai jual Tangan pun lebih bagus,” jelasnya.
Di samping secara teratur berproduksi, mereka juga membagi ketrampilan ini kepada siapa saja yang berminat melalui kursus dan dijamin segera mahir. “Mereka mendapat tisu dan segala peralatan untuk membuat hasta karya ini secara gratis. Karya mereka juga boleh dibawa pulang,” pungkasnya. Selain itu, mereka juga menjual tisu Jerman ini secara terpisah. Tertarik?