Home / Profil / CEO / Leave a Legacy

Leave a Legacy

Silvester Wiryanto (Founder & CEOLADIRA)

Dokter, sebuah profesi yang membuat mereka yang berada di dalamnya merasa sudah setengah dewa, ternyata tidak membuat Wiryanto cuek dengan sekitarnya. Ia juga merintis sektor-sektor lain yang berkaitan dengan sektor pembedayaan masyarakat. Tapi, ia juga menyadari jika pada akhirnya semua karyanya itu harus didelegasikan ke pihak-pihak lain, agarbisa lebih bermanfaat bagi banyak orang. Dan, itulah yang dimaksudleave a legacy (meninggalkan sesuatu yang berarti)

Wiryanto-1e-preneur.co. Indonesia merupakan negara yang penuh dengan susu dan madu. Begitulah anak-anak negeri ini memandang negara mereka, ketika berada nun jauh di seberang benua. Tak terkecuali Silvester Wiryanto, kala menimba ilmu kedokteran di Universitaet zu Koeln, Jerman.

Namun, mengapa Negara ini tidak bisa seperti Jerman yang luluh lantak karena Perang Dunia II, tapi dapat segera bangkit kembali, bahkan kini menjadi salah satu negara maju? Ternyata, jawabannya cuma satu: Indonesia belum memiliki pionir yang merintis di segala bidang.Mengingat, sumber daya manusia di Nusantara ini masih terbatas.

“Kalau kita menjadi dokter, misalnya, kita diharapkan mau dan mampu merintis sektor-sektor lain yang memiliki peluang.Termasuk, sektor pembedayaan masyarakat,” kata kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 31 Desember 1949 ini.

Dengan semangat idealisme itulah, ia menularkan nasib baik atau peluang yang dimilikinya kepada masyarakat, dengan terlebih dulu mempelajari dan menyerap semua sistem, semangat, dan paradigma masyarakat Jerman.

Sekembalinya ke Tanah Air pada tahun 1981, dengan niat menggebu-gebu untuk segera dapat mengimplementasikan obsesi-obsesinya, mantan Ketua Perhimpunan Pemuda Indonesia Regional Nord Rhein Westfalen, Jerman, ini langsung minta ditempatkan di desa.

“Meski dianggap aneh oleh kolega-kolega saya, tapi pada akhirnya saya menemukan tempat untuk adaptasi sekaligus mengimplementasikan berbagai obsesi saya yaitu di rumah sakit akademik (rumah sakit yang berada di bawah naungan perguruan tinggi, red.) Rumah Sakit Dokter Sardjito, Yogyakarta, sekaligus melakukan pelayanan di Desa Soran, Klaten,” kisah Pendiri dan Pengurus Perhimpunan Dokter Jerman Indonesia (Deutsche Indonesiche Geselchaft fuer Medizin) ini.

[su_pullquote align=”right”]Seseorang tidak mampu memberi, tanpa ia memiliki sesuatu[/su_pullquote]

Di desa yang kala itu belum terdapat jaringan listrik dan jalan-jalannya belum beraspal inilah, ia tinggal dan menggali aspirasi mereka.Misalnya, dengan ikut arisan para petani, kerja bakti, atau memanfaatkan keahlian olahraga taekwondonya untuk melatih para pemuda setempat dan para satpam Universitas Gajah Mada (UGM).

Dengan berjalannya waktu, pemegang sabuk hitam ini mulai dapat menyimpulkan apa saja yang dibutuhkan masyarakat desa ini. Sesudah itu terpenuhi, pemberdayaan pun dimulai.

Kini, Soran telah menjelma menjadi desa wisata (disingkat Dewi, red.), yang tetap mempertahankan keasliannya.Misalnya, cara hidup, ritual keagamaan, matapencaharian, dan sebagainya, sekaligus menawarkan homestay (tinggal di rumah penduduk) untuk berbagai pelatihan, seminar, pelayanan kesehatan, dan lain-lain.

Dari sinilah, masyarakat membiayai diri mereka, di samping dari pihak-pihak lain yang membuat berbagai proyek di desa yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat dan manfaatnya juga dinikmati masyarakat.Seperti, proyek children fund, air bersih, beasiswa, dan sebagainya.

“Sudah banyak orang yang melakukan hal-hal semacam itu, tapi semuanya masih bersifat perorangan. Begitu yang bersangkutan meninggal, apa yang telah dirintisnya akan ikut hilang pula. Atas dasar inilah, saya berpikir untuk melembagakannya.Sehingga, ketika sang perintis sudah tidak ada lagi, proyek ini akan terus ada dan berjalan. Dari situlah, terbentuk Yayasan Soran yang pengelolaannya saya serahkan kepada penduduk setempat dan para profesional,” tutur Pendiri dan Ketua Yayasan Soran ini.

Masa tugas di Soran berakhir, Wiryanto harus kembali ke instansinya. Tapi, ia menyadari bahwa seseorang tidak mampu memberi, tanpa ia memiliki. Dengan dasar pemikiran itu, pada tahun 1985, ia merintis usaha sendiri dengan mendirikan Soran Property, sambil tetap menjalankan profesi dokter.

“Saya sadar bahwa sejak awal saya sudah dibentuk untuk menjadi dokter.Bila saya mengabaikan profesi ini, saya merasa hidup ini tidak ideal,” ucap dokter spesialis patologi (ilmu tentang penyakit, red.) dari Universitas Indonesia ini.

Ia pun membuka praktik. “Tapi, saya merasa ini kapasitas pribadi saya. Berbeda kalau saya membangun lembaga, yang nantinya bisa menjadi fasilitator teman-teman yang lain,” lanjutnya. Dan, dibangunlah LADIRA (lihat boks).

Wiryanto-3Bapak empat anak ini, tidak berhenti sampai di sini. Wiryanto kembali ke kampus untuk meraih gelar magister hukum di UGM. “Sebenarnya, di dunia kedokteran itu ada banyak masalah. Mereka dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, mereka dipagari UU Praktik No.29/2004, yang sanksinya pidana kalau melakukan kesalahan. Misalnya, tidak memiliki izin praktik yang masih berlaku, kena denda. Nah, kalau aturan ini dikaitkan dengan gempa di Yogya dan Klaten kemarin, tentu nggak akan ada satu dokter pun yang menolong para korban, kan? Di sisi lain, sebagian besar dokter di Indonesia buta dan cuek dengan hukum, serta merasa diri mereka sudah setengah dewa sehingga bertindak semaunya,” kata pria yang hobi berenang ini, dengan penuh semangat.

Jadi, apa sebenarnya kiat sukses Anda? “Kiat sukses saya sama dengan orang-orang sukses pada umumnya yaitu kebenaran hakiki yang menyangkut tekun, rajin, disiplin, mau bekerja keras, murah hati, jujur, transparan, mau mengakui kesalahan dan meminta maaf, serta harus selalu tumbuh melalui belajar terus-menerus. Kebenaran hakiki seperti inilah yang akan menjadi keberhasilan. Setiap orang, sebenarnya memahami hal ini, tapi tidak semua orang menjalankannya,” tegas laki-laki, yang menguasai Bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda, selain (tentu saja) Bahasa Jawa dan Indonesia.

Lebih dari itu semua, CEO Expert Access (perusahaan yang bergerak dalam bidangpenyelenggaraan pelatihan, workshop, seminar, dan jasa konsultan, red.) ini melanjutkan, pada satu titik, apa yang telah dirintis itu harus diserahkan dengan ikhlas kepada mereka yang lebih memahami bidang tersebut.

“Berbekal pada apa yang saya miliki, saya melihat bahwa orang-orang Indonesia dapat menjadi pionir untuk segala hal. Tetapi, pada tahap-tahap tertentu harus membatasi diri, jangan rakus, berbagilah untuk win-win solution,” ujar pria, yang juga menerapkan prinsip ini dalam kehidupan pribadinya.

Pada suatu saat nanti, semua orang akan menghadap Illahi. Bila orang tersebut memiliki karya, sekecil apa pun itu, yang bisa didelegasikan ke orang lain dan bermanfaat bagi banyak orang, itulah yang dinamakan leave a legacy (meninggalkan sesuatu yang berarti, red.).

“Tapi, tidak berarti saya nanti hanya ongkang-ongkang. Sebab, yang begitu itu bikin cepat mati. Saya akan terus mengkomunikasikan dan memantau,” imbuhnya. Mungkin inilah yang dimaksud dengan harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan jasa.

 

LADIRA Si Alternatif Ketiga
[su_frame]

Wiryanto merasa bahwa kehidupannya memiliki tiga dimensi yaitu pertama, dimensi sosial yang diwujudkannya dalam bentuk Dewi Soran. “Di sini, saya hanya memberi, tanpa mengharapkan kembalian,” kata CEO Yayasan Soran ini.

Kedua, dimensi bisnis yang direalisasikan dalam bentuk Soran Property. Ketiga, dimensi profesi dengan mendirikan pelayanan kesehatan yaitu Klinik Iskandarsyah. Dalam perkembangannya, klinik ini berubah menjadi LADIRA (Pelayanan rawat pasien Di Rumah).

“Dalam dunia kesehatan, orang sakit cuma memiliki dua alternatif yaitu dirawat di rumah sakit (untuk penyakit berat dan menengah) atau rawat jalan (untuk penyakit ringan). Padahal, banyak masyarakat yang kadangkala tidak cocok dirawat di rumah sakit, tapi rawat jalan pun susah. Karena alasan inilah, saya berinisiatif memunculkan LADIRA, si alternatif ketiga,” ucap Pendiri dan Ketua Yayasan Iskandarsyah ini.

Di samping itu, pelayanan kesehatan juga selalu terbentur jarak tempuh. Karena itu, LADIRA hanya mematok pemberian layanan kesehatan dengan jarak tempuh 20 menit dari LADIRA ke rumah pasien.

“Bandingkan dengan pasien yang dirawat di rumah sakit, yang untuk dapat memperoleh perawatan dari dokter saja membutuhkan waktu 10 menit,” ujar CEO Tugu Medical Centre ini.

Sementara dari segi pembiayaan, jika dihitung-hitung, rumah sakit tanpa dinding ini lebih murah daripada biaya perawatan di rumah sakit. Untuk menginap saja, pasien harus merogoh kocek minimal Rp300 ribu, sedangkan LADIRA tidak membebankan biaya inap karena pasien berada di rumah mereka sendiri. Kecuali, tentunya ongkos dokter dan perawat.

Untuk penyakitnya, Ladira yang secara resmi beroperasi Juli 2008, sejauh ini menerima pasien pasca stroke, kanker stadium lanjut, dan sudah sangat lanjut usia.

LADIRA merupakan pelayanan kesehatan tumbuh kembang, sehingga jumlah paramedisnya fleksibel. “Kami menjalin kerja sama dengan para dokter, sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan. Kami juga memanfaatkan tenaga-tenaga paramedis yang belum dimanfaatkan secara optimal.Misalnya, perawat dan ambulans,” kata anggota Ikatan Dokter Indonesia ini.

LADIRA yang berlokasi di Jalan Kesehatan Raya, Bintaro, Jakarta Selatan, juga bekerja sama dengan psikiatri (ahli ilmu kejiwaan, red.) dan perusahaan-perusahaan yang menyediakan peralatan kesehatan, seperti kasur antiluka, tempat tidur, kursi roda, dan sebagainya.Sehingga, pasien dapat membeli atau menyewanya.

[/su_frame]

Check Also

Sukses Membangun Kerajaan Bisnis dengan Telaten Merangkai Jaringan

Onny Hendro Adhiaksono (PT Trimatra Group) Dalam bisnis, selain modal, jaringan dan skill mempunyai peran …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *