Home / Profil / Kisah Sukses / Kepercayaan, Komitmen, dan Konsekuensi

Kepercayaan, Komitmen, dan Konsekuensi

Siti Aisah Farida (Pemilik CV Hanimo)

Banyak pihak yang mengatakan jika dalam berbisnis dibutuhkan modal (baca: uang, red.), dalam jumlah yang tidak sedikit. Faktanya, tidak selalu begitu. Bahkan, Ida memulai Hanimo dengan modal dengkul. Hasilnya,kini, omset milyaran rupiah pun dibukukan per tahunnya

e-preneur.co. Ajining diri dumunung aneng lathi. Ungkapan dalam Bahasa Jawa ini berarti bahwa seseorang dihargai oleh orang lain, jika ia santun dalam ucapan dan perilaku. Dengan demikian, bila seseorang sering berbicara tidak sesuai dengan kenyataan, maka ia tidak akan pernah dipercaya.

Singkat kata, dipercaya atau tidaknya seseorang tergantung pada lathi atau mulutnya (baca: ucapannya, red.). Dan, hal inilah yang menjadi modal utama Siti Aisah Farida, ketika untuk pertama kalinya membangun bisnis yang lalu dinamai CV Hanimo.

????????????????????????????????????

Sementara modal berikutnya yaitu komitmen dan konsekuensi. “Contoh, saya memiliki supplier di Kota. Saya sering berbelanja ke tempatnya. Saya juga sering berhutang padanya (ambil barang, bayar belakangan, red.). Dia percaya saya akan membayar hutang itu. Karena, saya memang selalu membayar sesuai dengan komitmen atau kesepakatan kami. Kalau sampai waktu yang disepakati saya belum mampu membayar, sebagai konsekuensinya, apa pun yang saya miliki harus segera saya wujudkan dalam bentuk uang (baca: dijual, red.),” tegas perempuan, yang akrab disapa Ida ini.

Namun, Ida melanjutkan, kepercayaan tidak dapat dibangun dalam semalam. Sebelumnya, harus dijalin dan dipupuk secara terus menerus dalam suatu hubungan kekeluargaan. Dikatakan begitu, sebab sebenarnya dalam membangun Hanimo, ia memulainya secara sambil lalu sembari menerapkan pengetahuan dan pengalamannya, serta memanfaatkan jaringan (pelanggan dan supplier, red.) bisnis orang tuanya.

“Saya tumbuh besar dalam lingkungan bisnis mainan anak-anak usia Taman Kanak-kanak (TK), yang dijalankan orang tua saya di Yogyakarta. Sehingga, secara tidak langsung, saya sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam bisnis ini dan juga tentang dunia TK. Ketika pada akhirnya ikut terjun dalam bisnis ini, saya juga sudah memiliki link (yang sebenarnya milik orang tua saya). Selain itu, saya juga sudah mengetahui pasarnya,” tutur kelahiran Yogyakarta ini.

Sementara, ia menambahkan, modal yang berupa uang justru merupakan modal yang kesekian. Sebab, saat bisnis ini dibangun (tahun 1989), modalnya cuma Rp200 ribu dan itu pun pinjaman dari Tantenya. Sedangkan, barang yang dipasarkan merupakan produksi CV Mataram Indah (perusahaan milik orang tuanya, red.). Bahkan, ia juga memanfaatkan tenaga sang adik untuk menjaga barang-barang tersebut, saat ia harus mengajar di fakultas ekonomi sebuah universitas terbuka di kawasan Pondok Cabe, Jakarta.

“Hal itu saya lakukan, karena saat itu saya masih lajang dan gaji saya kecil, yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup saya sehari-hari. Di sisi lain, saya tidak kepikiran meminjam ke bank. Sebab, saya juga belum berpikir apakah nantinya saya akan serius ke bisnis ini dan mengembangkannya atau tidak,” kisah sarjana ekonomi dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, ini.

Selain itu, Ida yang hijrah ke Jakarta cuma berniat menjadi dosen ini inginagar jualannya cepat laku atau, setidaknya, dikenal orang.Karena, ia numpang tenar dengan menggunakan nama perusahaan orang tuanya. “Sehingga, kesan yang tertanam pada benak konsumen, usaha ini merupakan cabang atau perpanjangan bisnis Bapak saya,” imbuhnya.

hanimo-5Tahun 1990, ia menikah dan lalu memperoleh pesanan sebanyak 30 pasang meja kursi dari sebuah TK di kawasan Ciputat, Jakarta. Begitu pesanan itu dibayar, ia segera mengembalikan uang pinjaman dari sang Tante.

Di sisi lain, munculnya pesanan itu, ternyata memicunya untuk serius dengan bisnis ini. Misalnya, memiliki karyawan. Sebab, jika terus-menerus mengambil barang dari perusahaan orang tuanya, tentu ongkos kirimnya mahal sekali.

Untuk itu, yang pertama kali dilakukannya yaitu mengubah nama usahanya. Mengingat, berdasarkan peraturan pemerintah, sebuah badan usaha yang sama tidak diperbolehkan menggunakan nama yang sama dengan nama badan usaha yang telah ada sebelumnya. Maka, ia menamai usahanya menjadi CV Hanimo, yang merupakan singkatan nama kedua buah hatinya yaitu Hanan dan Emo. Dengan status bisnis yang sudah jelas, ia pun memiliki hak untuk meminjam ke bank.

Hanimo fokus pada produksi berbagai alat peraga untuk anak-anak usia TK, sesuai dengan kurikulumnya. Ketika PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hadir, usaha yang memiliki home industry dan outlet di kawasan Tugu Sawangan, Depok, ini juga merambah ke arah sana.

Di samping itu, karena aktif mengikuti berbagai pameran, seperti Inacraft, Smesco, dan lain-lain, Hanimo juga membuat berbagai produk yang kira-kira laku di pasar. “Dalam arti, tidak melulu mainan anak-anak, tapi juga mainan atau barang-barang yang laku di area pameran. Misalnya, gantungan baju, gantungan untuk mainan, rak, dan sebagainya atau lebih tepatnya furniture untuk anak-anak,” ucap Ida, yang dalam bisnis ini ber-partner dengan sang suami, Yudiono.

hanimo-9Seiring dengan berjalannya waktu, Hanimo pun merambah ke semua provinsi di Indonesia. “Kami belum merambah mancanegara, karena kami belum memiliki SNI. Selain itu, kami masih terbentur pada mahalnya ongkos kirim. Mengingat, produk kami berbahan baku kayu dan besi,” jelas Ida, yang membawahi 35 karyawan.

Untuk ke depannya, Hanimo yang bukan hanya memiliki pelanggan dari berbagai TK, melainkan juga perorangan ini, akan lebih fokus mengolah kebutuhan anak-anak TK. Seperti, membuatkan mereka seragam sekolah, seragam drumband, pakaian daerah, dan lain-lain.

“Kami juga sering menerima pesanan untuk anak-anak usia SD hingga SMA. Tapi, biasanya saya lempar ke pihak lain. Saya enggak ingin kemaruk. Apalagi, untuk menangani orderan dari berbagai TK saja masih sering keteteran. Maklum, selain dana BOS itu besar sekali, juga karena bermunculannya kompleks-kompleks perumahan yang dipastikan selalu dilengkapi dengan TK. Jadi, di mana ada TK, selalu ada anak-anak yang membutuhkan alat-alat untuk bermain yang memiliki nilai edukatif,” kata Ida, yang telah mempersiapkan keponakan dan anaknya sebagai penerus usahanya kelak.

Berkaitan dengan mainan yang bernilai edukatif itu, Hanimo yang menjual produknya dengan harga minimal Rp10 ribu/buah ini, juga tidak mau sembarangan menerima konsumen. Hanya konsumen yang benar-benar memahami permainan anak-anak yang dipenuhi pesanannya.“Saya sangat mementingkan kualitas produk dan kepuasan pelanggan. Kepuasan konsumen berarti repeat order,” tegasnya.

Kesimpulannya? “Menurut saya, sebuah bisnis dapat saja dibangun denganmodal dengkul, bukan melulu uang. Tapi, itu semua tergantung pada bagaimana kita membangun atau membuat orang lain percaya. Selanjutnya, mengetahui kondisi pasar, membentuk pasar, membangun kerja sama secara kekeluargaan dengan karyawan sehingga mereka tidak gampang keluar, menjalin silaturahmi dengan banyak pihak, mempererat jaringan meski itu sebenarnya jaringan orang tua kita, melebarkan jaringan, dan memahami apa itu bisnis yang kita jalankan. Ketika bisnis sudah berjalan, banyak-banyaklah ikut seminar dan pelatihan. Mengingat, bisnis itu selalu berkembang,” pungkas Ida, yang mengaku tidak pernah mengalami kepleset pembayaran.

Check Also

Sukses Membangun Kerajaan Bisnis dengan Telaten Merangkai Jaringan

Onny Hendro Adhiaksono (PT Trimatra Group) Dalam bisnis, selain modal, jaringan dan skill mempunyai peran …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *