Snack Zone®
Bisnis makanan memang kagak ade matinye,sekali pun itu makanan kecil. Hal itu, sudah dibuktikan oleh Snack Zone®.Bukan cuma itu, guna menjangkau pasar menengah ke atas yang notabene “rewel”, Snack Zone® membuka gerainya di berbagai mal mentereng
e-preneur.co. Benci tapi rindu. Begitulah hubungan antara camilan dengan para wanita. Sebab, makanan ringan, diakui atau tidak, merupakan musuh paling utama sekaligus sahabat karib kaum hawa.
Kondisi ini, sangat dipahami oleh para pelaku bisnis di bidang makanan pengganjal rasa lapar ini. Tidak mengherankan, jika geraisnack dapat dijumpai dari kakilima hingga pusat perbelanjaan sementereng Senayan City.
Salah satunya yakni Snack Zone®. Muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1979, dengan nama Rotary Snack dan hanya mengandalkan kerupuk ikan (Kerupuk Bangka) buatan sendiri.
Berangkat dari situ, pada tahun 1984, Rotary Snack membuka toko untuk pertama kalinya di Plasa Hayam Wuruk,disusul toko di Plasa Indonesia (tahun 1989), Plasa Semanggi, Mega Mal Pluit (di sini dibuka sekaligus dua toko, red.), Mal Kelapa Gading, dan Senayan City.
Bersamaan dengan dibukanya outlet di Senayan City pada 19 Juli 2012 lalu, namanya pun berubah menjadi Snack Zone®. “Itu karena kami melihat adanya perubahan gaya hidup konsumen, khususnya dalam food and beverage,” jelas Hendra N. Gunawan, Managing Director PT Zoneindo Global, perusahaan yang membawahi Snack Zone®.
Sejalan dengan itu, juga dilakukan perubahan konsep guna menampilkan wajah baru Rotary Snack. Tampilan baru ini pun dilakukan di Rotary Snack Mal Kelapa Gading dan di toko-toko yang lain.
Mengapa Rotary Snack selalu berada di dalam mal? “Kami melihat bahwa segmen pasar kelas menengah−menengah ke atas merupakan segmen pasar, yang mempunyai tuntutan tinggi pada makanan. Kami melihat pula pemain yang bergelut dengan hal ini belum banyak, maka kami mencoba main di segmen ini,” ujarnya. Hasilnya?“Cukup bagus!” lanjutnya.
Fakta menunjukkan bahwa toko-toko camilan yang bermain di segmen menengah−menengah ke atas lebih bisa bertahan daripada toko-toko snackyang bermain di segmen menengah−menengah ke bawah. “Asalkan tetap kosisten dan menampilkan customer service yang baik dan produk yang berkualitas. Soal harga masalah kedua bagi konsumen di segmen ini. Itulah yang kami pelajari dan konsisten di berbagai mal,” katanya.
Namun, mengingat investasi di mal membutuhkan modal yang tidak kecil, sejak beberapa tahun lalu, Snack Zone® juga menjalin kerja sama dengan beberapa hypermarket. “Harganya tentu saja lebih murah, tapi standar kualitasnya hampir sama,” imbuhnya.
Dilihat dari sisi harga, Snack Zone® yang kala itu memiliki300 jenis camilan ini, memang lebih mahal Rp1.000,- sampai Rp2.000,- per ons-nya dibandingkan toko-toko camilan lain. Karena, sejak awal, toko snack yang saat weekend mampu membukukan transaksi 2–3 kali lipat ketimbang weekdays ini, telah menetapkan standar lebih tinggi daripada “pesaingnya”, Seperti,sales promotion girl-nya berseragam dan menggunakan cara melayani atau berkomunikasi tersendiri dengan konsumen.
“Berdasarkan pengalaman, konsumen sangat suka dilayani. Bila mereka tidak dilayani atau dijelaskan tentang produk-produk baru yang ada, dipastikan mereka hanya akan membeli satu atau dua item saja. Di Snack Zone® yang 40% makanan kecil yang dijual merupakan produksi sendiri, konsumen akan dilayani sedemikian rupa.Sehingga, dapat dipastikan akan membeli lebih dari dua item,” ungkap Hendra, yang membawahi lebih dari 100 karyawan.
Dari segi produk yang ditawarkan, Snack Zone® yang menjajakan 75% produk lokal dan 25% produk luar, selalu menampilkan camilan yang fresh. Selain itu, dalam jangka waktu 3–6 bulan dilakukan product review untuk mengganti item-item yang tidak “berjalan” baik dengan item-item baru.
“Untuk menghindari kesalahan karena menawarkan makanan yang telah kadaluarsa, kami hanya mencurahkan produk yang fast moving ke dalam topless. Kami juga melakukan pencatatan, sehingga dapat melakukan estimasi antara waktu barang datang hingga dicurahkan,” jelasnya. Sekadar informasi, masa “hidup” camilan berkisar 6–8 bulan di ruangan berpendingin.
Sementara untuk menghindari produk impor yang tidak berlabel halal, Snack Zone® mengacu pada peraturan Departemen Perindustrian dan Perdagangan bahwa setiap pemain ritel yang ingin menjual produk impornya, minimal mempunyai izin ML (lisensi yang harus dimiliki jika barang impor masuk ke Indonesia, red.). “Itulah yang kami terapkan pada produk-produk kami yang berasal dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Cina,” ujarnya.
Snack Zone® yang menawarkan konsep your one stop snack outlet ini, dibangun dengan total modal sebesar lebih dari Rp1 milyar. Omsetnya? “Yang jelas, terjadi kenaikan omset 40%–70% sejak Rotary Snack berubah menjadi Snack Zone®,” katanya, diplomatis.Kini, Snack Zone® dapat dijumpai di Pasa Indonesia dan Pasific Place (Jakarta Pusat), Kota Kasablanka (Jakarta Selatan), serta Mal Kelapa Gading dan Mal of Indonesia (Jakarta Utara). Sekali lagi fakta membuktikan, bisnis makanan memang kagak ade matinye.